Kediamandewa dilambangkan dengan motif - 44009340 santyriyani2 santyriyani2 10.09.2021 Seni Sekolah Dasar terjawab Kediaman dewa dilambangkan dengan motif a. gunung b. ular c. garuda d. merak 2 Lihat jawaban jadi kan jawaban yang terbaik ya please Iklan

MITOLOGI JAWA DALAM MOTIF BATIK UNSUR ALAM Pujiyanto Abstract Batik with natural motif is one of batik designs presenting natural descriptions such as animals, plants, fire, amulet, and the like. The batik visually exposes reliefs like roots spreading to every direction. The relief is shown on semen, sawat, and alas-alasan motifs. The elements on the three motifs symbolize three groups of nature; the lower-level, the mid-level, and the upper-level nature. Key words semen motif, sawat motif, alas-alasan motif, Javanese myth. Motif batik unsur alam adalah penyederhanaan unsur bentuk alam dengan maksud perlambangan. Pengelompokan atau penggolongan motif batik unsur alam didasari oleh bentuk ornamen yang ditampilkan dalam motif. Bentuk-bentuk ornamen yang ada dalam motif ditampil-kan secara bebas, artinya tidak banyak mengacu ke ilmu ukur. Motif ditampilkan dengan gaya lung lenggak-lenggok sebagai stilasi dari beberapa unsur bentuk alam, seperti; api, gunung, garuda burung, ular naga, daun, bunga, akar, dan sebagainya. Bentuk-bentuk tersebut mempunyai maksud dan falsafah yang dalam sesuai dengan nama motif batik. Pengelompokan nama-nama motif batik jumlahnya cukup banyak, karena variasi motif terus berkembang, sehingga menghasilkan jenis polapola baru. Meskipun mengalami perkembangan khususnya pada bentuk ornamen yang ditampilkan, tetapi motif batik tetap mengacu pada unsurunsur alam yang melambangkan kesuburan. Beberapa motif batik unsur Pujiyanto adalah dosen Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang 128 Pujianto, Metologi Jawa dalam Motif Batik Unsur Alam 129 alam yang terdapat di batik adat Keraton adalah; motif Semen, motif Sawat, dan motif Alas-alasan. MOTIF SEMEN Semen berasal dari kata semi yang berarti bertunas pada daun tumbuh-tumbuhan Yudoseputro, 1983 128. Pola Semen merupakan ornamen yang menggambarkan tumbuh-tumbuhan atau tanaman menjalar. Dalam motif sering ditampilkan beberapa macam bentuk ornamen stilasi, yaitu bentuk binatang, tanaman, dan unsur-unsur lain. Namun yang mendominasi motif Semen adalah pohon atau tanaman beserta akar dan sulurnya yang tumbuh atau semi, sebagai simbol kesuburan. Motif yang digambarkan sebagai pohon hayat memberi pengertian suatu kehidupan. Tumbuh-tumbuhan ditampil-kan di seluruh bidang yang berfungsi sebagai pengisi ruang dengan gaya lemah lembut, seakan menjalar menuju ruang kosong. Penempatan ornamen tumbuh-tumbuhan seakan-akan tanpa ada pengaturan, tetapi bila diperhatikan akan tampak adanya penempatan bunga pada ruang kosong yang agak luas di antara bentuk-bentuk lain seperti Lar, Burung, Gunung, dan sebagainya. Penampilan bentuk-bentuk lain selain tumbuhan, penempatannya memperhatikan keseimbangan keseluruhan motif dalam suatu raport, sekaligus sebagai kombinasi Semen. Secara visual motif ini mempunyai keindahan yang terletak pada pengaturan elemen motif, stilasi bentuk yang mengarah ke bentuk flora, dan pemberian isen batik pada motif utama. Tiap-tiap ornamen mempunyai arti simbolis yang mengarah pada kepercayaan suatu kehidupan. Hubungan bentuk antara ornamen satu dengan lainnya mempunyai pengertian yang dalam tentang adanya kepercayaan suci. Seperti tersebut dikatakan oleh Kawindrosusanto 1981169, bahwa motif semen mempunyai pengertian yang ada kaitannya dengan kepercayaan. Kata semen berasal dari kata semi dengan akhiran an, yang artinya ada seminya. Adapun arti semi, adalah tunas yang sudah menjadi kodrat alam; dimana ada gunung yang terdapat tunas dan tumbuhtumbuhan. Meru melambangkan puncak gunung yang tinggi tempat bersemayamnya para Dewa, atau dianggap menjadi lingga lambang dari alam ini, maksudnya yang memberi hidup. Begitu pula yang tumbuh dari gunung tersebut, yaitu tumbuh-tumbuhan yang mengandung arti dan mak- 130 BAHASA DAN SENI, Tahun 31, Nomor 1, Februari 2003 sud dalam hubungannya dengan Meru. Diceritakan bahwa pada Meru terdapat mata air yang benama Kala-Kula. Para dewa yang minum air tersebut akan mati. Di daerah itu juga terdapat tumbuh-tumbuhan yang bernama Sandilata, yaitu pohon yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati, hampir sama dengan Tirta Merta air kehidupan, yaitu air yang kekal abadi dan mengandung kekuatan gaib. Di atas Meru tumbuh pohon Soma yang dapat memberi kesakitan. Di sebelah Barat Laut Meru terdapat pohon suci bernama pohon jambu Wrekso atau disebut juga Sudarsono yang sangat indah dan menjulang keangkasa, sedangkan cabangnya sebanyak seratus ribu batang. Pohon ini memberikan segala rasa wisesa yang dapat diartikan Maha Kuasa atau Maha Suci. Maka dari itu semen mengarah pada unsur kehidupan yang mengadung pengertian suci. Hal itu tampak pada penyebaran unsur flora di seluruh bidang, sebagai tanda penyebaran benih supaya dapat bersemi. Penyebaran benih mengartikan adanya penyebaran benih kehidupan, seperti yang digambarkan berupa tanaman menjalar sebagai penggam-baran alat kelamin pria. Motif Semen dalam penerapannya di dalam Keraton diperuntukkan bagi Pangeran, Adipat, dan untuk pengantin pria pada waktu ijab kobul Semen Rama. Disamping Semen Rama masih ada jenis batik Semen lain seperti; Semen Gede, Semen Babon Angkrem, Semen Cuwiri, Semen Sawat, Semen Bondet, dan lain-lain. Gambar 1 Batik Motif Semen Sutanto, 1980 23 Pada motif Semen, ornamen tumbuh-tumbuhan sangat dominan, Pujianto, Metologi Jawa dalam Motif Batik Unsur Alam 131 seperti tumbuhan dan tumbuhan menjalar gunung yang menyebar ke kegala arah. Agar motif ini kesan hidup dan bermakna, maka ditampilan ornamen gunung, burung, kapal, bangunan dan sebagainya. MOTIF SAWAT GURDO Sawat dalam kamus Ranggawarsita 1994 244, berarti semi. Pengertian semi kemungkinan dari bentuk ornamen yang ditampilkan, yaitu untaian bunga atau daun. Motif Sawat ditampilkan dalam bentuk sayap burung, seperti dua sisi kembar kanan kiri disebut Marong, dua sayap terbuka kembar lengkap dengan ekor terbuka disebut Sawat, sedang satu sisi kanan atau kiri disebut lar, yang kesemuanya melambangkan keberanian atau keperkasaan. Pada perpindahan Keraton dari Kartasura ke Surakarta, Susuhunan Pakubuono II memakai motif Sawat. Agar kejadian ini menjadi peringatan bagi-nya dan keturunannya, maka jenis motif ini merupakan motif larangan, yang hanya boleh dipakai oleh Raja dan Keturunannya. Motif Sawat dengan penampilan dua sayap merupakan bentuk yang indah dan menyenangkan. Keindahan visual pada bentuk stilasi yang lembut dan luwes sesuai dengan bentuk sayap burung, mencerminkan kekuatan dan keperka-saan, seperti tampak pada bentuk Lar yang tegas. Bentuk motif ini sering ditiru atau sebagai sumber ide dari bentuk lain, misalnya seperti bentuk lambang Korpri. Dalam mitologi Hindu-Jawa, Lar adalah burung Garuda, yaitu sejenis burung berbentuk binatang berkaki manusia yang mempunyai sayap dan kepala seperti burung. Jenis burung inilah yang ditumpangi oleh Dewa Wisnu untuk naik ke Surga. Tirta, 1985 9. Menurut Rouffer dalam Sutaarga, 1964 13, motif Sawat dalam sejarah kerajaan Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung dipakai sebagai lambang kejayaan dan mempunyai pengertian kesaktian budaya yang menggam-barkan unsur kehidupan atau disebut sangkan paraning dumadi. Motif Sawat dapat dipahami mempunyai pengaruh yang luar biasa bagi pemakainya, yaitu Raja, agar dalam menjalankan tugasnya agar diberi kekuatan dalam mengayomi masyarakat. Raja merupakan jelmaan atau titisan Dewa, karena itulah segala keputusan peraturan merupakan yang terbaik bagi dirinya, keluarganya, maupun Abdi Dalem, dan rakyatnya. 132 BAHASA DAN SENI, Tahun 31, Nomor 1, Februari 2003 Gambar 2 Batik Motif Sawat Sutanto, 1980 25 Ornamen Sawat pada motif batik ini berukuran besar dan ditampilkan secara berulang-ulang sehingga kesan Sawatnya sangat dominan, meskipun ada pendukung ornamen lain, seperti burung merak, kalpataru, gunung meru, binatang berkaki empat, tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain MOTIF ALAS-ALASAN Alas-alasan berarti hutan, karena itulah segala sesuatunya hewan dan tumbuh-tumbuhan ada dalam motif ini seperti hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan. Motif Alas-alasan hampir sama dengan motif Semen, hanya saja ornamen hewannya lebih dominan dari pada ornamen tumbuhan hutannya, disamping itu ada juga stilasi laut, awan, dan hewan-hewan mitologi. Motif Alas-alasan ditampilkan dalam komposisi yang terkesan ramai dengan gaya bebas namun masih mengacu ke unsur alam. Bentuk-bentuk stilasi alam masih tampak jelas dalam bentuk yang sebenarnya, seperti jago dengan ayam betina, kupu dengan kumbang, harimau dengan kuda, dan sebagainya. Motif Alas-alasan menekankan pada objek binatang, sehinggga stilasi bentuk yang ditampilkan banyak mengarah ke unsur binatang dengan penempatan yang ditata rapi ke arah vertikal maupun horinsontal dengan jarak yang sama. Untuk memberi kesan tidak monoton dalam penempatan, maka peran tumbuh-tumbuhan sangat dibutuhkan sebagai pengisi ruang kosong dan sebagai penguhubung pada tiap-tiap bentuk binatang. Pengisian ruang kosong selalu dilakukan hingga kelihatan ramai dan liar semrawut seperti adanya hutan belantara yang penuh binatang dan tumbuh-tumbuhan liar. Dari segi visual, motif Alas-alasan Pujianto, Metologi Jawa dalam Motif Batik Unsur Alam 133 mempunyai keindahan yang luar biasa karena memasukkan unsur-unsur alam dengan objek hutan seisinya yang dibuat secara spontan seakan mengingatkan kita pada lukisan primitif dengan segala kemegahan seperti yang ditampilkan dengan warna emas. Motif Alas-alasan menggambar-kan keadaan hutan atau alam seisinya yang melambangkan keadaan Alam yang baik dan yang buruk Nagoro. 198811. Namun pengertian menurut Suryanto Sastroatmodjo 199347 motif Alas-alasan memberi pengertian bahwa, Alas-alasan berarti hewan yang dianggap sebagai lambang kesuburan dan kemakmuran. Bila diperhatikan secara teliti dan mendalam maka pada motif Alasalasan tampak adanya hewan yang merusak tanaman atau memangsa hewan lain seperti serangga dan macan, dan hewan yang tidak merusak tanaman seperti kupu-kupu, ular, dan sebagainya. Berbagai sifat hewan tersebut mengartikan adanya kehidupan di alam ini. Manusia yang hidup untuk menuju kemakmuran dan ketenteraman seringkali mendapat berbagai halangan dan rintangan. Motif Alas-alasan tidak tampil pada semua jenis kain batik, tetapi pada kain batik sebagai Dodot bangun-tulak dengan kombinasi pradan emas. Jenis batik ini sering digunakan oleh Raja untuk upacara-upacara agung, pengantin agung, dan tari Bedhaya. Gambar 3 Batik Motif Alas-alasan Sulyon, 1979270 Motif Alas-alasnya menggambarkan suasana hutan, maka dalam motif ini ditampilkan ornamen, semak-semak, tumbuhan gunung, burung, kura-kura, kelabang, katak, serangga, kepiting, merak, dan sebagainya. 134 BAHASA DAN SENI, Tahun 31, Nomor 1, Februari 2003 MITOLOGI Secara keseluruhan motif batik mengacu pada unsur alam, masingmasing stilasi bentuk mempunyai falsafah yang sama, mulai dari kehidupan air, darat dan kehidupan udara. Menurut paham Triloka, yaitu faham dari kebudayaan Hindu, unsur-unsur kehidupan tersebut terbagi menjadi tiga bagian, meliputi Alam Atas, Alam tengah, dan Alam Bawah. Contoh dari ketiga tempat tersebut adalah Burung melambang Alam Atas, Pohon melambangkan Alam Tengah, Ular melambangkan Alam Bawah Susanto, 19732. Ornamen yang berhubungan dengan Alam Atas atau udara seperti garuda, kupu-kupu, lidah api, burung atau binatang-binatang terbang, merupakan tempat pada Dewa. Ornamen yang berhubungan dengan Alam Tengah atau daratan, meliputi pohon hayat, tumbuh-tumbuhan, meru, binatang darat, dan bangunan, merupakan tempat manusia hidup. Ornamen yang berhubungan dengan air; seperti perahu, naga ular, dan binatang laut lainnya, merupakan Alam Bawah sebagai tempat orang yang hidupnya tidak benar dur angkoro murko Susanto, 1973235-237. Ornamen-ornamen yang biasa ditampilkan ke dalam motif Semen, Sawat, dan motif Alas-alasan menurut Susanto 1973235-237, dan Veldhuisen. 198828adalah Sawat atau garuda, melambangkan matahari atau tatasurya, kesaktian, dan keperkasaan Meru merupakan tempat Dewa melambangkan kehidupan dan kesuburan Pohon hayat, melambangkan kehidupan Lidah api melambangkan api, kesaktian, dan bakti Burung melambangkan umur panjang Binatang berkaki empat melambangkan keperkasaan dan kesaktian Kapal melambangkan cobaan Dampar atau tahta melambangkan keramat, tempat Raja Pusaka melambangkan wahyu, kegembiraan, dan ketenangan Naga melambangkan kesaktian dan kesuburan Kupu-kupu melambangkan kebahagiaan dan kemujuran. Pujianto, Metologi Jawa dalam Motif Batik Unsur Alam 135 Menurut Wiyoso Yudoseputro, motif yang sering digunakan di dalam batik mempunyai lambang tertentu, seperti Meru melambangkan tanah, bumi atau gunung tempat para Dewa Lidah api melambangkan api, Dewa Api, lambang yang sakti Barito melambangkan air, demikian juga binatang-binatang yang hidup di air, misalnya katak, ular, siput dan lain-lain Burung melambangkan Alam Atas atau udara Pohon melambangkan Alam Tengah Kupu-kupu melambangkan Alam Atas Pusaka melambangkan kegembiraan dan ketenangan Garuda melambangkan Matahari. Bila ornamen tersebut dikelompokkan berdasarkan wilayah Alam dalam falsafah Jawa, maka menjadi sebagai berikut ALAM BAWAH Perahu Naga ular Binatang air lainnya ALAM TENGAH ALAM ATAS Pohon Hayat Meru Bangunan Binatang berkaki Empat Pusaka Binatang-binatang Darat lainnya Garuda Burung Kupu-kupu Lidah Api Dampar Binatangbinatang Terbang lainnya Van Der Hoop 1949 166-178, bahwa Burung pada Nekara pada awalnya menggambarkan roh. Dalam mitologi Hindu, Burung merupakan kendaraan Whisnu, sehingga dalam kesenian Hindu-Jawa Burung Garuda dilambangkan Matahari atau Rajawali yang berlawanan dengan ular yang menjadi lambang air dan Alam Bawah. Bila diperhatikan, Naga Ular melambangkan kesaktian dan kesuburan. Mengapa dalam pewayangan, ular ditempatkan di Alam Bawah sebagai tempat para durjana, tempat orang yang hidupnya tidak benar yang , dalam faham Jawa disebut dur angkoro murko ?. Penempatan Naga Ular di Alam Bawah bagi masyarakat Jawa merupakan pangruwating dur ang- 136 BAHASA DAN SENI, Tahun 31, Nomor 1, Februari 2003 koro murko yaitu sebagai alat pencegah sifat durjana, jahat merusak Alam Tengah, tanpa memperhitungkan Alam Atas. Pohon Hayat yang ditempatkan di Alam Tengah merupakan penghubung Alam Atas dan bawah. Pohon Hayat mempunyai keEsaan tertinggi yang dapat disamakan dengan Brahmana dalam agama Hindu dan Tao filsafat Cina, merupakan sumber semua kehidupan, kekayaan, dan kemakmuran Hoop. 1949 274. Pohon Hayat digambarkan pula sebagai Gunungan, disebut juga kekayon dari perkataan kayu. Mula diarani kayon tegese, yaiku mujudake yen karepe manungso iku ora tetep, miturut apa kang dibutuhake . Bahwa yang dikatakan kekayon mempunyai arti karep keinginan, yaitu menggambarkan keinginan manusia yang tidak tetap menurut apa yang dibutuhkannya Sajid. 1958150. Gunungan digambarkan sebagai hutan seisinya, ada binatang terbang, binatang darat, ular, dan air. Semua itu merupakan perlambangan Jagat Gede yang tergabung dari ketiga Alam. Gunungan di dalam motif batik digambarkan sebagai Gunung atau Mehru yaitu tempat kediaman Dewa. Mehru digambarkan sebagai puncak yang tinggi dengan dikelilingi oleh tumbuh-tumbuhan gunung. Maksud dari ornamen tersebut di atas adalah menggambarkan, bahwa kehidupan manusia tidak akan kekal dan penuh cobaan di Alam ini Alam Tengah, apabila manusia di Alam Tengah berbuat salah akan mengakibatkan kesengsaraan Alam Bawah. Namun apabila ia dapat mengendalikan diri untuk mencapai kebenaran maka ia akan mendapat kemuliaan Alam Atas. Dapat disimbolkan bahwa manusia hidup tidak gampang, adakalanya sengsara, adakalanya mulya tergantung dari perbuatan dan pengendalian hidup dari manusia sendiri. Tabel 1. Mitologi Jawa dalam Motif Batik ORNAMEN Garuda Meru Dampar LAMBANG Matahari Dewa Raja X X X X X Pujianto, Metologi Jawa dalam Motif Batik Unsur Alam 137 X X X X X X X X X X Kemujuran Kesuburan Keramat Cobaan X Ketenangan Kebahagiaan Umur Panjang Kebaktian Kehidupan Keperkasaan X Kesaktian Pusaka Wahyu Pohon Hayat Lidah Api Burung Binatang Berkaki Empat Kapal Naga Kupu-kupu ARTI PANDANGAN HIDUP ORANG JAWA Kejawen merupakan pandangan hidup orang jawa yang didasari oleh sifat lahiriyah dan batiniyah, yaitu; Rela, Narimo, Temen, Sabar, dan Budi Luhur dengan rasa kekeluargaan dan kehormatan. Dalam hidupnya tidak harus ngoyo, sepadan, apa adanya, bersyukur dengan apa yang telah diberikan, dan bisa mengendalikan diri agar bisa bersifat adil sesemanya. Narimo ing pandum dan kalah keporo ngalah merupakan bagian dari darma baktinya kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk nandur kabecikan. Hal tersebut haruslah selaras antara lahir dan batin hingga akhirnya terwujud manunggaling kawulo Gusti. Dalam hidupnya, manusia mempunyai kasunyatan, yaitu asal-usul dan tujuan akhir manusia untuk menghadap Tuhan Yang Maha Esa, dan inilah yang dikatakan sangkan paraning dumadi. Sifat lahiriah dan batiniah pada diri orang Jawa selalu dituangkan dalam karya-karyanya seperti dalam motif batik unsur alam. Batik Keraton yang pada awalnya tercipta melalui meditasi tapa atau tirakat mutih, yaitu penjernihan diri dan penyerahan diri terhadap Yang Maha Kuasa, guna menghasilkan karya besar dan berbobot secara visual maupun spiritual. Batik adat yang berkembang di dalam keraton merupakan pangejawantahan unsur-unsur alam ke dalam kehidupan orang Jawa. Kehidupan sebagaimana dijalankan manusia sebagai kawulane Gusti, seperti 138 BAHASA DAN SENI, Tahun 31, Nomor 1, Februari 2003 Pancasila orang Jawa, tergambar pada bagan sebagai berikut SIFAT ORANG JAWA Rela Narimo Temen Sabar Budi Luhur FALSAFAH ORANG JAWA Manunggaling Kawulo Gusti Sangkan Paraning Dumadi Loroning Anunggal Dwi Tunggal UNSUR ALAM/ KEHIDUPAN Flora Fauna Benda Mati BATIK Motif Warna Teknik Penerapan Motif batik unsur alam yang memanfaatkan unsur-unsur alam, sebagai unsur motif seperti burung, binatang berkaki empat, ular, bunga, kupukupu, bangunan, perahu, karang, arah mata angin, dan sebagainya. Beberapa unsur alam tersebut kalau dikelompokkan menjadi tiga bagian menurut pengertian wilayah alam. Burung, kupu-kupu, dan sejenisnya merupakan penguasa Alam Atas, sebagai tempat para Dewa Tuhan. Binatang berkaki empat, bunga, dan sebagainya adalah menggambarkan Alam Tengah, merupakan tempat hidup manusia. Sedang ular, perahu, dan sebagainya menggambarkan Alam Bawah, yaitu tempat kehidupan yang tidak benar. Maksud dari ketiga wilayah keduniaan tersebut adalah sebagai peringatan kepada manusia, bahwa dalam hidupnya harus berbakti kepada Yang Maha Kuasa dan berhati sumeleh dalam menjalankan hidupnya. Apabila dalam hidupnya tidak benar, tentunya akan menemukan kesengsaraan pada dirinya. Maka untuk mencapai hidup yang tenteram dan damai harus selalu ingat pada Yang Maha Kuasa, saling menghormati dan menghargai sesamanya, sehingga tercermin manunggaling kawulo Gusti seperti yang terdapat pada motif Semen dan Alas-alasan. Warna batik ada yang mengarah ke warna merah seperti Cinde, mengarah ke hijau atau biru seperti Dodot, dan mengarah ke kuning kecokla- Pujianto, Metologi Jawa dalam Motif Batik Unsur Alam 139 tan seperti nyamping. Warna-warna yang ditampilkan pada batik adat tersebut mempunyai pengertian yang dalam bagi falsafah Jawa. Warna pada Cinde yang terdiri dari warna putih, merah, dan hitam yang melambangkan kehidupan, yaitu asal sangkaning dumadi. Kain Dodot berwarna hijau atau biru yang dipadu dengan prodo keemasan. Warna hijau merupakan kesayangan Ratu Pantai Selatan yang dianggap sebagai Dewa perdamaian dan ketentraman. Warna hijau bisa diartikan sebagai lambang kesuburan atau kehidupan, sedang prodo sebagai simbul kemurnian. Kesimpulannya, bahwa manusia dalam hidupnya haruslah mempunyai jiwa yang bersih dan murni dalam nandur kebecikan. Nyamping berwarna kuning kecoklatan soga yang dipadu dengan warna hitam dan putih sebagai isen motif. Warna putih menggambarkan dunia terang yang melambangkan kehidupan, warna kuning kecoklatan merupakan lambang kematangan dan kejujuran, sedang warna hitam adalah dunia petang sebagai lambang kelanggengan abadi. Manusia hidup di dunia haruslah mempunyai pikiran yang matang dan bersifat jujur sebagai bekal di dunia lain, yaitu alam baka sebagai suatu kelanggengan. Arah warna gradasi dari putih-kuning kecoklatan-hitam merupakan proses kehidupan manusia sebagai manunggaling kawulo Gusti. Dalam faham kesatuan antara Yang Maha Kuasa dengan manusia merupakan dua hal yang menjadi satu kesatuan yang disebut Loroning anunggal. Teknik pembuatan batik menggunakan canting berisi lilin panas yang dituangkan secara rapi dan halus, sehingga menghasilkan batik adat yang indah. Seperti batik keraton yang dikerjakan berhari-hari atau berbulanbulan oleh perajin-perajin batik tanpa mengenal lelah dan kebosanan, hanya demi darma bhaktinya terhadap Sang Atasan yaitu Raja dan Yang Maha Kuasa. Berdasarkan rela, narimo, temen, sabar, dan budi luhur tanpa ngoyo dalam mengerjakan sesuatu tentunya akan menghasilkan karya yang luar biasa, baik visual maupun spiritual. Dalam penerapannya selain sebagai busana harian batik, juga untuk upacara-upacara ritual. Dalam upacara ageng maupun alit dalam Keraton Mataram, batik adat mempunyai peran utama sebagai perlengkapan upacara yaitu sebagai nyamping. Bila dalam mengikuti upacara tidak memakai nyamping, maka dianggap melanggar pranatan yang ada dan tidak sopan. Di lingkungan keraton, batik dipakai dalam upacara-upacara, karena suatu keharusan yang ditaati, karena berhubungan dengan Yang 140 BAHASA DAN SENI, Tahun 31, Nomor 1, Februari 2003 Maha Kuasa yaitu manunggaling kawulo Gusti. KESIMPULAN Motif batik unsur alam terdiri dari tiga kelompok, yaitu; 1 motif Semen yang mempunyai pengertian tunas atau tumbuh menjalar, yang berarti kesuburan, 2 motif Sawat Garuda yang ditampilkan dengan dua sayap membentang terbuka, melambangkan keberanian atau kekerasan, 3 motif Alas-alasan hutan menggambarkan suasana hutan yang mencerminkan kehidupan alam ini, yang berupa rintangan dan ketentraman. Menurut paham Triloka, bahwa kehidupan di dunia ini terdiri dari Alam Atas, Alam Tengah, dan Alam Bawah. Ketiga kehidupan tersebut mempunyai maksud, bahwa manusia dilahirkan untuk hidup di dunia ini Alam Tengah dengan penuh cobaan Alam Bawah; jika dalam hidupnya manusia bisa menghindari cobaan dan menjalankan perintahnyaNya, maka akan mencapai kebahagiaan di akhirat Alam Atas, yang kesemuanya itu mencerminkan sangkan paraning dumadi. DAFTAR RUJUKAN Kawindrosusanto, Kuswadji. 1981. Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta, Tata Rias dan Busana Tari Yogyakarta. Yogyakarta Dewan Kesenian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Nagoro, Hardjo Krt. 1988. Sekapur Sirih tentang Pola Batik, Malam batik, Pola, dan Pesona. Surakarta UNS Press. Ranggawarsita, R. Ng. Winter Sr. 1994. Kamus Kawi-Jawa. Yogyakarta Gajah Mada University Press. Sajid. 1968. Bauwarna Wayang Jilid I Keterangan lan Rinenggo ing Gambar-gambar. Surakarta Widya Duta. Sastroatmodjo, Surjanto. 1993. Nyamping Batik Wibawaning Priyayi. Yogyakarta Djoko Lodang No. 1096. Sulyom, Garrett dan Bronwer. 1984. Fabric Traditions at Indonesia. Washington Woshington State University Press. Susanto, Sewan. 1973. Pembinaan Seni Batik Seri Susunan Motif Batik. Yogyakarta Balai Penelitian Batik dan Kerajinan. Susanto, Sewan. 1980. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Yogyakarta Balai Penelitian Batik dan Kerajinan. Sutaarga, Moh. Amir. 1964. Pembinaan Pola Batik. Jakarta Museum Tekstil Pujianto, Metologi Jawa dalam Motif Batik Unsur Alam 141 Tirta, Iwan. 1985. Simbolisme dalam Corak dan Warna Batik. Jakarta Femina. No. 28 XIII-23. Veldhuisen, Alit Djajasoebrata. 1973. On the Origin and Nature of Larangan. Washington DC The Textile Museum Van Der Hoop. 1949. Indonesische Siermotieven. Koninkligk Bataviasch Genootschap Van Kunsten en Weterschappen. Yudoseputro, Wiyoso. 1983. Mengenal Ragam Hias Jawa I B. Jakarta Departeman Pendidikan dan Kebudayan
Pembedaantujuh alam itu (martabat tujuh) juga ditemukan dalam konstitusi kesultanan. Menurut sejarah Buton, versi pertama konstitusi itu dirancang oleh sultan keempat, La Elangi (1578-1615) dengan bantuan ahli agama dari Arab, Syarif Muhammed (bandingkan dengan contoh gagasan reinkarnasi diatas).
Batik merupakan hasil seni budaya yang memiliki keindahan visual dan mengandung makna filosofis pada setiap motifnya. Penampilan sehelai batik tradisional, baik dari segi motif maupun warnanya, dapat mengatakan kepada kita darimana batik tersebut berasal. Begitu pula dengan Batik Klasik, yang pada masanya motif batik tertentu menggambarkan derajat dari pemakai batik tersebut. Misalnya Batik Motif Semeru dari Surakarta yang digunakan oleh Raja Jawa pada masa itu. Batik pada masa itu memiliki makna filosofis yang tinggi, setiap motif yang tergambar memiliki makna dan filosofi yang dalam, bahkan juga menjadi doa yang dipanjatkan kepada Yang Maha Kuasa dan berharap pemakai batik tersebut mendapatkan sesuai apa yang di doakan dalam motif tersebut. Batik klasik tidak diketahui pencipta setiap motifnya, hal ini dikarenakan kepercayaan masyarakat pada masa itu, bahwa mereka menciptakan sesuatu, dalam hal ini batik, ditujukan hanya untuk Yang Maha Kuasa, tanpa ingin diketahui siapa dirinya oleh masyarakat.
  1. Էбриፈዞбιጾէ ሔепаፓα иξኞ
  2. ԵՒфи አμօժипጪ
  3. Гէчодокэመը αцոчεбէշա псυյизег
Estimatedtime until the end of the search, seconds: 52. Peri muncul dalam cerita rakyat dari seluruh dunia sebagai makhluk metafisik, yang, dengan kondisi yang tepat, dapat berinteraksi dengan dunia fisik. Mereka dikenal dengan banyak nama tetapi ada kesesuaian dengan apa yang mereka wakili, dan mungkin juga dengan asal-usul mereka.

Biuro Projektów Architektonicznych, the architects behind the Debowa Housing Estate, got creative with limited resources to build their social housing project in Poland. The development consists of two portions; the majority of the design is the social housing part, but there is also a commercial segment. To make the Debowa Housing Estate stand out despite its restrictive budget, the architects stenciled on floral and bird images onto the facade of the residential portion. The social housing project positions itself to be noticed within the city; as a result, it serves as a catalyst to a larger dialogue about the role of social assistance. Implications - The eco movement is a dominant cultural force that informs the values of many. The movement prizes waste reduction. Companies looking to engage with these customers should consider how they can get creative on limited means.

Dewadewa Yunani dan Mesir disinkretkan sebagai dewa gabungan (contoh: Serapis). Bentuk skulptur Yunani Kuno juga mempengaruhi motif-motif tradisional Mesir. Meskipun telah terus berusaha memenuhi tuntutan warga, dinasti Ptolemeus tetap menghadapi berbagai tantangan, seperti pemberontakan, persaingan antar keluarga, dan massa di Iskandariyah
Jawabantitik,garis,bidang dan warna c
MesirKuno adalah suatu peradaban kuno di bagian timur laut Afrika.Peradaban ini terpusat di sepanjang hilir sungai Nil.Peradaban ini dimulai dengan unifikasi Mesir Hulu dan Hilir sekitar 3150 SM, dan selanjutnya berkembang selama kurang lebih tiga milenium.Sejarahnya mengalir melalui periode kerajaan-kerajaan yang stabil, masing-masing diantarai oleh periode ketidakstabilan yang dikenal
Ganesa merupakan dewa yang amat populer di kalangan umat Hindu. Pemeluknya meyakini Ganesa sebagai sosok yang mampu memberikan keselamatan dan perlindungan dari berbagai malapetaka. Tidak hanya itu, ia juga dipercayai sebagai sumber kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan. Kepopuleran Ganesa tak hanya ditemui di India, melainkan juga di Jawa pada pada abad ke-8 hingga 15. Beberapa arca Ganesa yang terbuat dari batu memperlihatkan penggambaran motif pada kain yang dikenakannya. Hasil pengamatan terhadap ragam motif tersebut menunjukkan adanya pola yang cukup - uploaded by Atina WinayaAuthor contentAll figure content in this area was uploaded by Atina WinayaContent may be subject to copyright. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free x 25 cm Punggung cmBambang Sulistyanto Rr. Triwurjani Sukawati Susetyo Ashar Murdihastomo Atina Winaya Libra Hari Inagurasi Yusmaini Eriawati Retno Handini Harry Octavianus SoanMenggamit Minat RAGAM HIAS NUSANTARAEditor Prof. Ris. Dr. Bambang Sulistyanto, karya seni, ragam hias ditemukan di berbagai belahan dunia. Sedemikian jauh peradaban ini terbang mengarungi samudra, menembus batas dunia, namun ia tetap bukan produk modernisme yang gegap gempita. Secara historis, ragam hias atau ornamen justru lahir dari pedalaman, tradisional, religius-magis. Perhatikan saja masyarakat berburu dan pengumpul makanan. Ragam hias memiliki makna bukan hanya sekedar gambar cadas penghias dinding gua-gua atau ceruk-ceruk hunian manusia di zaman prasejarah, melainkan lebih memiliki makna keberhasilan tangkapan hewan buruan. Lalu dari sini ragam hias disejajarkan dengan simbol perilaku nonverbal dan kebersamaan yang berfungsi semacam pelabelan Menggamit Minat Ragam Hias Nusantara yang kita baca sekarang ini, tidak lain merupakan simbol yang penting diperlakukan sebagai tanda nonbahasa. Berkomunikasi memang tidak harus meng-gunakan bahasa lisan, namun dengan simbol kita dapat beriteraksi terhadap sesama. Mengapa demikian? Karena simbol merupakan tanda yang dipergunakan untuk saling mengenali dengan arti yang sudah dipahmi bersama. Bahkan di dalam arkeologi, simbol sering dilihat sebagai suatu realitas sosial yang dibangun atas kesepakatan masyarakat pendukungnya. Dalam ilmu hermenitik, ragam hias adalah tanda yang memiliki hubungan antara penanda dan petanda yang bersifat arbiter. Sebagai penanda ia merupakan aspek material, sedangkan sebagai petanda adalah aspek mentalnya, yaitu gambaran pikiran atau konsep dari identitas simbol sendiri. Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa, sebaliknya suatu petanda tidak mungkin bisa dipahami maknanya jika terlepas dari unsur penanda. Jadi, simbol memungkinkan manusia tidak hanya untuk sekedar berpikir, melainkan juga melakukan kontak terhadap realitas kehidupan di luar dirinya. Simbol sangat penting bagi kehidupan manusia, dengan simbol manusia dapat mencapai potensi estetika. Demikian kira-kira yang tersirat dalam buku bunga rampai ini. Mereka para arkeolog memperbicangkan ragam hias, tetapi sebenarnya membongkar makna simbol di Pendidikan dan KebudayaanBadan Penelitian dan Pengembangan dan PerbukuanPusat Penelitian Arkeologi NasionalEditor Prof. Ris. Dr. Bambang Sulistyanto, MENGGAMIT MINAT RAGAM HIAS NUSANTARA Menggamit Minat Ragam Hias NusantaraPenulisBambang Sulistyanto, Rr. Triwurjani, Sukawati Susetyo, Ashar Murdihastomo, Atina Winaya, Libra Hari Inagurasi, Yusmaini Eriawati, Retno Handini, dan Harry Octavianus SofianEditorProf. Ris. Dr. Bambang Sulistyanto, Penelitian Arkeologi NasionalBekerja Sama dengan Yayasan Pustaka Obor Indonesia Jakarta, 2020 JudulMenggamit Minat Ragam Hias Nusantara,Bambang Sulistyanto, Rr. Triwurjani, Sukawati Susetyo, Ashar Murdihastomo, Atina Winaya, Libra Hari Inagurasi, Yusmaini Eriawati, Retno Handini, dan Harry Octavianus SofianEditorProf. Ris. Dr. Bambang Sulistyanto, 2020Hak Cipta dilindungi Undang-UndangAll Rights reservedISBN 978-979-8041-78-5Diterbitkan pertama kali oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakartabekerja sama dengan Yayasan Pustaka Obor IndonesiaCetakan pertama September 2020Desain sampul Masugeng 77BAB 4PENGGAMBARAN MOTIF KAIN PADA ARCA GAṆEŚA DI JAWARAGAM DAN MAKNAAtina Winaya1PendahuluanGaṇeśa merupakan tokoh yang populer di dalam mitologi agama Hindu. Rupa sik yang mudah dikenali, menjadikannya gur yang memiliki daya tarik tersendiri. Berbeda dengan sosok dewa pada umumnya, Gaṇeśa digambarkan dalam wujud perpaduan manusia dan hewan, yakni memiliki tubuh manusia dan kepala gajah. Ia merupakan putra Siwa dengan Parwati, dan memiliki saudara kandung bernama Skanda Morley, 2005118. Gaṇeśa memiliki berbagai panggilan nama, di antaranya adalah Winayaka, Wigneswara dan Wighnarāja Getty 1971. Beberapa panggilan tersebut memiliki arti yang hampir sama, yaitu “penguasa rintangan”. Panggilan lainnya yang dikenal adalah Ganapati dan Ekadanta. Ganapati berarti pemimpin para Gaṇa pasukan pengiring Siwa, sedangkan Ekadanta berarti bertaring satu secara losos, hal ini diartikan sebagai zat tunggal yang maha kuat Maulana, 199734. Sebelum memasuki topik pembahasan, ada baiknya terlebih dahulu diulas secara sepintas mitologi Gaṇeśa agar dapat diketahui konsep yang menaunginya. Asal mula lahirnya Gaṇeśa tertuang di dalam berbagai sumber tertulis keagamaan purāna. Dalam Linga Purāna, diceritakan bahwa Indra beserta para 1 Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 78dewa penghuni khayangan memohon kepada Siwa untuk menciptakan suatu makhluk yang dapat mengalahkan Asura yang telah menghancurkan kediaman para dewa Rao, 196835. Melalui rahim Parwati, lahirlah pemuda tampan bernama Wighneswara, yang kemudian berhasil mengusir Asura dari khayangan. Parwati sangat bangga akan ketampanan putranya, namun ia merasa heran karena terdapat seorang dewa bernama Sani yang tidak mau memandangnya. Rupanya Sani sedang berada dalam kutukan istrinya. Apa pun yang ditatapnya akan berubah menjadi abu. Parwati meyakinkan Sani bahwa kutukan itu tidak akan berlaku pada putranya. Akan tetapi perkiraan itu salah, kepala Wighneswara berubah menjadi abu setelah ditatap oleh Sani. Parwati amat sedih. Brahma pun menghiburnya dan menjanjikan bahwa kepala binatang yang pertama kali ditemui akan menyelamatkan putranya. Ketika itu, Wisnu yang sedang mengendarai Garuda menemukan seekor gajah. Kepala gajah itu dipenggal dan dipasangkan ke leher Wighneswara. Setelah itu, ia dinamakan Gaṇeśa Ions, 1967100. Kisah lainnya yang cukup populer mengenai kelahiran Gaṇeśa tertuang di dalam Siwa Purāna. Kitab tersebut menceritakan bahwa Parwati menciptakan Gaṇeśa sebagai penjaga pintu kediamannya Vanita dan Kidwai, 200082. Suatu ketika, Siwa hendak memasuki kediaman pada saat Parwati sedang mandi. Gaṇeśa yang bertugas menjaga kediaman ibunya, dengan sigap menghalanginya. Tindakan Gaṇeśa menyebabkan Siwa murka sehingga menimbulkan peperangan di antara keduanya. Siwa memenggal kepala Gaṇeśa dan kemudian menggantikannya dengan kepala gajah Agarwal, 2018. Var āha Purāna menceritakan asal-usul Gaṇeśa dengan versi yang berbeda Rao, 196839. Parwati merasa iri akan keindahan sosok Gaṇeśa. Ia pun mengutuk Gaṇeśa menjadi seorang pemuda berkepala gajah dan berperut buncit, sehingga semua keindahan yang dimilikinya hilang. Siwa yang mengetahui kutukan itu, segera bertitah bahwa Gaṇeśa akan menjadi Wignarāja yang memimpin para Gana. Ia harus diagungkan di antara para dewa, dan segala keberhasilan dan kegagalan menjadi ketetapannya Ions, 1967101. Sungguh menarik bahwa asal-usul Gaṇeśa dikisahkan secara berbeda di dalam berbagai purāna. Meskipun demikian, hampir seluruhnya memiliki asosiasi mengenai penggambaran dirinya sebagai seorang “penjaga” atau seorang yang dapat mengusir halang rintangan. Beberapa kitab lainnya yang menceritakan Atina Winaya 79kelahiran Gaṇeśa adalah Brahmawaiwarta Purāna, Suprabhedagāma Purāna, Matsya Purāna, Skanda Purāna, dan Ganesa Purāna Rao, 1968; Getty, 1971; O’Flaherty, 1980.Tidak hanya di India, pemujaan terhadap Gaṇeśa juga dilakukan oleh masyarakat Jawa kuno. Hal itu dapat diketahui dari berbagai bukti arkeologis yang ditemukan, baik berupa sumber tertulis maupun artefak. Gaṇeśa kerap ditemui di dalam inskripsi Jawa Kuno. Secara umum, penyebutannya di dalam prasasti tercantum pada dua bagian, yaitu pada seruan di awal/akhir parasasti dan pada sumpah sapatha yang menyeru para dewa untuk menjadi saksi. Meskipun demikian, penyebutan namanya di dalam prasasti tidak pernah dituliskan menggunakan nama Gaṇeśa. Pada bagian seruan, nama yang sering dijumpai adalah Ganapati. Adapun pada bagian sumpah, nama yang dijumpai adalah Winayaka. Kedua nama itu memiliki latar yang berbeda. Ganapati digunakan untuk menyebut Siwa dan tokoh dewata lainnya di dalam sumber India yang lebih tua, sedangkan Winayaka kemungkinan digunakan sebagai sebutan untuk roh jahat yang menghalangi upaya manusia Sedyawati, 1994135. Selain penyebutan namanya di dalam berbagai sumber tertulis, indikasi mengenai pemujaan Gaṇeśa pada masa Jawa kuno yang tidak dapat disangkal adalah banyaknya arca Gaṇeśa yang ditemui hingga saat ini. Bersama Trimurti Siwa, Wisnu, dan Brahma, Gaṇeśa menjadi tokoh dewata yang paling banyak diwujudkan dalam bentuk arca. Arca Gaṇeśa umumnya diletakkan di tempat yang dianggap keramat, seperti perempatan jalan, tempat penyeberangan sungai atau jembatan, dan di bawah pohon besar Bagus, 201526. Tidak hanya berdiri sendiri, arca Gaṇeśa merupakan salah satu gur penting di dalam kelompok arca yang menghiasi candi-candi Siwa di Jawa. Komposisi penempatan arca pada candi Siwa adalah arca Siwa di dalam bilik utama candi, arca Durga di relung sisi utara, arca Agastra di relung sisi selatan, dan arca Gaṇeśa di relung sisi barat/timur Kempers, 195959.Beberapa arca Gaṇeśa ditemui memiliki hiasan inskripsi. Gaṇeśa yang memuat inskripsi di bagian belakang tubuhnya, kiranya tidak mungkin diletakkan menempel pada dinding, karena tulisan yang tercantum di punggungnya mempunyai fungsi sebagai maklumat sehingga perlu dilihat oleh khalayak umum. Besar kemungkinan arca Gaṇeśa tersebut diletakkan di tengah ruangan Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 80atau lapangan. Dengan demikian, semakin memperkuat dugaan bahwa pada masa pembuatan arca-arca itu, dikenal pemujaan Gaṇeśa secara tersendiri Sedyawati,1994161. Daya tarik Gaṇeśa mampu memikat para ahli untuk meneliti dan mengulas sosoknya lebih dalam. Sudah banyak karya tulis ilmiah, baik dalam bentuk artikel jurnal, skripsi, tesis, maupun disertasi yang membahas Gaṇeśa melalui berbagai sudut pandang. Salah satu kajian mendalam mengenai Gaṇeśa dilakukan oleh Edi Sedyawati pada tahun 1985 dalam disertasinya yang berjudul “Pengarcaan Gaṇeśa Masa Kadiri dan Singhasari Sebuah Tinjuan Sejarah Kesenian”. Berkenaan dengan hal tersebut, tulisan ini bermaksud turut serta memperkaya ulasan mengenai Gaṇeśa melalui sudut pandang yang belum pernah dibahas sebelumnya, yakni berkenaan dengan motif kain yang dikenakannya. Sebagian besar arca yang berasal dari masa Jawa kuno tidak memperlihatkan secara jelas penggambaran motif yang menghiasi kain yang dikenakannya. Besar kemungkinan bahwa dahulu kain yang dikenakan arca dihiasi oleh motif ragam hias tertentu, namun seiring berjalannya waktu, motif tersebut menjadi aus bahkan hilang akibat kondisi lingkungan yang dilaluinya selama berabad-abad. Hal tersebut diketahui dari sebagian kecil arca yang masih memperlihatkan motif hias pada kain yang dikenakannya, baik pada arca yang terbuat dari logam maupun batu. Beberapa arca tersebut adalah arca Gaṇeśa yang terbuat dari batu. Melalui ketersediaan data yang ada, tulisan ini berupaya menjawab pertanyaan yang mengemuka, yakni apa ragam motif kain yang dikenakan arca Gaṇeśa? Kemudian setelah pertanyaan tersebut terjawab, akan timbul pertanyaan berikutnya, yakni apa makna ragam motif tersebut? Jawaban atas kedua pertanyaan tersebut, tentunya memberikan gambaran serta pengetahuan baru mengenai motif kain yang dikenakan arca Gaṇeśa, baik dari segi bentuk maupun makna yang dikandungnya. Terlebih luas lagi, pengetahuan mengenai motif kain pada arca dapat menambah wawasan baru di dalam khazanah ilmu ikonogra di Indonesia, serta membuka peluang bagi penelitian bertema sama di masa mendatang. Data yang ditampilkan dalam tulisan ini adalah arca Gaṇeśa yang ditemui di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebagian data merupakan data primer yang dikumpulkan langsung pada saat penelitian di lapangan, sedangkan sebagian data lainnya merupakan data sekunder yang dikumpulkan dari dokumentasi pihak Atina Winaya 81lain. Seluruh data tersebut diamati secara seksama dan kemudian dideskripsikan secara terperinci, khususnya pada bagian kain. Hasil pendeskripsian menjadi bahan telaah selanjutnya, yaitu melakukan analisis komparatif antara motif kain pada arca Gaṇeśa dengan motif batik Jawa. Motif batik Jawa dijadikan referensi, khususnya dalam upaya penelusuran ilmu arkeologi, analisis komparatif bertujuan untuk memahami suatu benda yang belum diketahui sifat dan karakteristiknya. Analisis tersebut dilakukan dengan cara membandingkan suatu benda yang belum dapat diidentikasi atau dipahami, dengan benda yang sudah diketahui karakteristiknya. Perbandingan dapat dilakukan pula untuk memahami variasi antar ruang dan waktu Smith, 20114. Bahwasanya, perbandingan merupakan sifat dasar di dalam ilmu arkeologi yang menempatkannya pada bagian penting di dalam ilmu-ilmu sosial. Permasalahan dalam ilmu sosial umumnya mengenai perilaku manusia yang dibentuk oleh faktor-faktor yang bekerja lintas budaya, sebagai lawan dari faktor-faktor unik yang terdapat pada budaya tertentu Trigger, 20033. Perbandingan antara motif kain pada arca Gaṇeśa dengan motif batik Jawa ditujukan untuk melihat adanya kemiripan ataupun perbedaan penggambaran motif, serta untuk mengetahui makna yang terdapat di balik motif tersebut berdasarkan makna yang diketahui di dalam motif batik Jawa. Dengan demikian, pertanyaan yang dikemukakan dapat terjawab, yakni mengenai ragam motif pada kain yang dikenakan arca Gaṇeśa beserta makna di balik pemilihan motif tersebut. Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di JawaDari keseluruhan arca Gaṇeśa yang dijumpai, jumlah arca yang memperlihat-kan penggambaran motif pada kainnya sangat terbatas. Keberadaannya mungkin dapat dihitung dengan jari. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bisa jadi sebagian besar arca pada masa Jawa kuno mengenakan kain yang dihiasi beraneka ragam motif, namun karena teknik pahatnya yang tipis atau tidak diukir secara dalam, maka motif-motif tersebut kini telah aus. Meskipun demikian, ketersediaan data yang terbatas secara kuantitas tetap merupakan data yang penting di dalam upaya menggali dan mengungkap pengambaran motif kain pada arca, baik pada arca di Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 82masa Jawa kuno secara umum maupun arca Gaṇeśa secara khusus. Beberapa arca Gaṇeśa yang masih mengenakan kain bermotif hias diuraikan sebagai Arca Gaṇeśa Balai Konservasi BorobudurArca Gaṇeśa terletak di halaman Balai Konservasi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Arca yang terbuat dari bahan batu tersebut diberi nomor inventaris serta memiliki ukuran tinggi 74 cm, lebar 57,5 cm, dan tebal 26,5 cm. Penggarapan arca halus dan detail, dengan kontur permukaan yang jelas. Unsur hias arca terbilang raya, setiap detailnya digambarkan secara natural. Kondisi arca sudah tidak terlalu utuh. Bagian mahkota, belalai, dan sebagian tangannya telah Arca Ganesha Balai Konservasi Boro-budur Sumber Winaya 2019Gaṇeśa digambarkan dalam keadaan sikap duduk utkutikasana, yakni kedua kaki ditekuk dan telapak kakinya saling bertemu seperti posisi kaki bayi yang sedang duduk. Arca tidak memiliki sandaran stela dan sirascakra lingkaran halo penanda makhluk suci. Lapik arca berbentuk oval, serta di Atina Winaya 83atasnya terdapat bantalan duduk dilapisi alas kain. Gaṇeśa memiliki empat tangan, namun seluruhnya telah patah sehingga tidak dapat diketahui sikap mudra telapak tangan atau benda yang dipegangnya. Wajah Gaṇeśa sudah tidak terlihat dengan jelas, karena bagian matanya sudah aus dan belalainya patah. Pada bagian tengah dahinya terdapat mata ketiga trinetra yang merupakan ciri yang dimiliki oleh Siwa. Telinganya lebar sebagaimana telinga gajah. Mulutnya setengah terbuka dan lehernya bergaris tiga sebagai penanda makhluk suci. Meskipun mahkotanya telah patah, namun jamang hiasan dahi yang dikenakannya masih terlihat berbentuk pipih tebal berhias ora. Sebagian rambutnya terurai di kedua Sketsa Arca Ganesha Balai Kons Ilustrasi Probo Santoso 2019Gaṇeśa mengenakan upawita tali kasta berbentuk ular yang diselempang-kan pada bahu sebelah kiri. Ia mengenakan berbagai perhiasan yang raya. Kalung yang dikenakannya berbentuk lembaran melebar berhias untaian dan kelopak bunga. Kedua lengannya mengenakan kelat bahu berbentuk untaian Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 84geometris bersimbar tumpal. Pergelangan tangannya mengenakan gelang untaian mutiara. Perutnya dihiasi tali berbentuk untaian geometris bergesper simbar kelopak mengenakan kain panjang hingga pergelangan kaki. Kain tersebut dihiasi motif lingkaran medalion yang menyerupai bentuk kelopak bunga. Pada batik Jawa, motif tersebut dikenali sebagai motif jlamprang. Motif tersebut digambarkan rapat memenuhi seluruh permukaan kain. Celah di antara motif medalion diisi motif kelopak bunga. Kain diikat dengan sabuk polos bergesper bunga, dihiasi oleh dua uncal berhias ora, serta sampur selendang di sisi kiri dan kanan kain. Kedua sampur tersebut diduduki oleh Gaṇeśa sebagai alas bantalan yang menjulur hingga ke depan Arca Gaṇeśa Museum SonobudoyoGambar Arca Ganesha Museum Sonobudoyo Sumber Winaya 2019Atina Winaya 85Arca Gaṇeśa terletak di halaman Museum Sonobudoyo, Yogyakarta. Arca yang terbuat dari bahan batu tersebut memiliki ukuran tinggi 91,3 cm, lebar 67,6 cm, dan tebal 53,4 cm. Penggarapan arca halus dan detail, dengan kontur permukaan yang jelas. Unsur hias arca raya, setiap detailnya digambarkan secara natural. Gaṇeśa digambarkan dalam keadaan sikap duduk utkutikasana. Arca tidak memiliki sandaran stela, namun memiliki sirascakra berbentuk oval. Lapik arca berbentuk padmasana teratai ganda yang permukaannya dihiasi motif geometris segi Sketsa Arca Ganesha Museum Sonobudoyo Ilustrasi Probo Santoso 2019Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 86Kepalanya mengenakan jatamakuta, yakni mahkota yang terbuat dari pilinan rambutnya, berhias ornamen candra kapala bulan sabit dan tengkorak. Sebagian rambutnya dipilin membentuk sanggul, dan sebagian yang lain dibiarkan terurai di kedua bahu. Wajah Gaṇeśa memiliki raut muka tenang dengan mata setengah terbuka sikap bersemedi. Belalainya patah dan telinganya merupakan telinga gajah yang lebar. Gaṇeśa mengenakan upawita berbentuk ular bermahkota yang diselempangkan pada bahu sebelah kiri. Ia mengenakan berbagai perhiasan yang raya. Mahkotanya dihiasi jamang berbentuk persegi tebal berhias tumpal. Kalung yang dikenakannya berbentuk untaian. Perutnya dihiasi tali berbentuk untaian geometris bergesper kelopak memiliki empat tangan dengan sikap tangan kanan depan memegang ekadanta patahan gadingnya; tangan kanan belakang memegang aksamala tasbih; tangan kiri depan memegang modaka mangkuk manisan; serta tangan kiri belakang memegang parasu kapak. Kedua lengannya mengenakan kelat bahu berbentuk tali polos bersimbar tumpal, serta pergelangan tangannya mengenakan gelang berhias  mengenakan kain panjang hingga pergelangan kaki. Kain tersebut dihiasi motif ceplok bunga/kelopak bunga. Berbeda dengan motif pada Gaṇeśa Balai Konservasi Borobudur, motif ceplok bunga ini tidak rapat, melainkan renggang berjarak satu sama lain. Motif semacam itu kini dikenali sebagai motif truntum. Kain diikat dengan sabuk polos, dihiasi oleh dua uncal panjang hingga bawah lutut, serta sampur di sisi kiri dan kanan kain. 3. Arca Gaṇeśa Candi BanonArca Gaṇeśa berasal dari Candi Banon yang terletak di Magelang, Jawa Tengah. Para ahli berpendapat bahwa lokasi Candi Banon tidak jauh dari Candi Pawon dan Candi Borobudur, namun saat ini keberadaan candi tersebut sudah tidak ditemukan lagi Kempers, 195936. Arca Siwa, Wisnu, Brahma, Agastya, dan Gaṇeśa yang berasal dari Candi Banon termasuk ke dalam arca-arca bermutu tinggi masterpiece di Jawa Tengah, karena memiliki kualitas seni yang amat baik. Kini, seluruh arca tersebut disimpan di Museum Winaya 87Gambar Arca Ganesha Candi BanonSumber Kempers 1959Arca Gaṇeśa Candi Banon yang terbuat dari batu tersebut memiliki nomor inventaris 186b dan ukuran tinggi 148 cm. Penggarapan arca amat halus dan detail, dengan kontur permukaan yang jelas. Unsur hias cukup raya, namun tidak menampilkan aksesoris dan ornamen yang berlebihan. Kesan yang ditampilkan bukanlah kemewahan, melainkan keanggunan elegant. Kondisi arca dapat dikatakan baik, apabila dilihat dari keutuhan dan kondisi permukaannya. Gaṇeśa digambarkan dalam keadaan sikap duduk utkutikasana. Arca tidak memiliki sandaran stela, namun memiliki sirascakra berbentuk oval yang sebagian telah patah. Lapik arca berbentuk padmasana teratai ganda yang permukaannya dihiasi motif geometris segi enam. Kepalanya mengenakan jatamakuta yang tidak terlalu tinggi, serta dihiasi ornamen candra kapala dan ora. Wajah Gaṇeśa memiliki raut muka yang tenang. Mata berukuran kecil dan terbuka. Belalainya mengarah ke sebelah kiri itampiri dan telinganya merupakan telinga gajah yang lebar. Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 88Gaṇeśa mengenakan upawita berbentuk ular yang diselempangkan pada bahu sebelah kiri. Ia mengenakan berbagai perhiasan yang raya. Mahkotanya dihiasi jamang berbentuk persegi tebal berhias tumpal. Kalung yang dikenakannya berbentuk lembaran melebar berhias untaian. Gaṇeśa memiliki empat tangan dengan sikap tangan kanan depan memegang ekadanta patahan gadingnya; tangan kanan belakang memegang aksamala tasbih; tangan kiri depan memegang modaka mangkuk manisan; serta tangan kiri belakang diduga memegang parasu telah hilang. Kedua lengannya mengenakan kelat bahu berbentuk lembaran berhias motif geometris dan bersimbar tumpal, serta pergelangan tangannya mengenakan gelang berhias untaian mengenakan kain panjang hingga pergelangan kaki. Kain dihiasi oleh garis-garis horizontal yang bersusun dari atas ke bawah. Permukaan kain juga dihiasi oleh motif ceplok bunga/kelopak bunga truntum. Motif ceplok bunga tidak rapat, melainkan renggang berjarak satu sama lain. Sabuk pada kain berbentuk rantai bergesper bunga. Kain tidak memiliki hiasan uncal dan sampur. Gambar Arca Ga-nesha Candi BanonSumber OD-1169b, KITLV 1902Gambar Fokus penampakan kain pada Arca Ganesha Candi Banon Sumber OD-1169b, KITLV 1902, diedit oleh Winaya 20204. Arca Gaṇeśa DiengArca Gaṇeśa Dieng merupakan arca yang baru ditemukan pada bulan Desember 2019 di Desa Dieng Wetan, Wonosobo, Jawa Tengah. Arca tersebut ditemukan pada kedalaman 50 cm oleh seorang petani yang sedang mengolah ladang. Proses pengangkatan arca Gaṇeśa yang berukuran besar itu Atina Winaya 89memerlukan upaya yang keras, dengan melibatkan pegawai Balai Pelestarian Cagar Budaya BPCB Jawa Tengah, anggota TNI dan Polri, serta masyarakat. Saat ini arca tersebut disimpan di kantor unit Dieng BPCB Jawa Tengah, sebelum dibawa ke Museum Kaliasa Dieng Arca Gaṇeśa Dieng terbuat dari batu dan memiliki ukuran tinggi 130 cm, lebar 86 cm, dan tinggi 120 cm. Penggarapan arca halus dan detail, dengan kontur permukaan yang jelas. Unsur hias sederhana, dengan menampilkan beberapa aksesoris polos tanpa hiasan. Kondisi arca sudah tidak utuh, yakni bagian kepala dan tangannya telah hilang. Namun tokoh tersebut dikenali sebagai Gaṇeśa apabila dilihat dari potongan belalai yang menempel di depan dada, perut yang buncit, serta keadaan sikap duduk utkutikasana. Sikap duduk tersebut merupakan salah satu ciri khas ikonogra arca Gaṇeśa. Gambar Penemuan arca Ganesha DiengSumber Istimewa/ 2020Gaṇeśa tidak memiliki sandaran stela dan sirascakra. Ia duduk pada lapik arca berbentuk oval polos, tanpa hiasan. Kondisi kepala dan wajahnya tidak dapat diketahui, namun belalainya terlihat mengarah ke sebelah kiri itampiri. Gaṇeśa mengenakan upawita berbentuk ular yang diselempangkan pada Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 90bahu sebelah kiri. Ia mengenakan perhiasan yang sederhana. Kalung yang dikenakannya berbentuk lembaran melebar berhias list dan kelopak bunga di bagian tengahnya. Kelat bahu yang nampak pada lengan kanan, ikat pinggang, serta gelang kaki polos tanpa hiasan. Laksana benda yang dibawanya tidak diketahui karena tangannya sudah perhiasan yang dikenakan sederhana, namun Gaṇeśa terlihat mengenakan kain panjang hingga pergelangan kaki yang dihiasi motif medalion menyerupai kelopak bunga jlamprang. Motif medalion tidak rapat, melainkan renggang berjarak satu sama lain. Kain tidak dihiasi uncal dan sampur. Gambar Arca Ganesha DiengSumber Dwi Royanto/ 2020Atina Winaya 915. Arca Gaṇeśa BaraArca Gaṇeśa ditemukan di Dusun Bara, Blitar, Jawa Timur. Arca tersebut dibawa dari Djimbe, yang berlokasi di tepi Sungai Brantas. Gaṇeśa Bara memiliki karakter unik yang menjadikannya mahakarya berkualitas tinggi. Bagian belakang arca dihiasi oleh ukiran Kala berukuran besar. Tanduk yang besar, mata berbentuk bulat dan melotot, serta gigi taring yang panjang, menjadikan Kala tersebut nampak menyeramkan. Keberadaan Kala yang menempel pada punggung Gaṇeśa diyakini melindungi sang dewa dari berbagai gangguan buruk. Pada bagian belakang lapik arca, terdapat inskripsi yang menunjukkan angka tahun 1161 Śaka atau 1239 Masehi, yang merupakan periode pemerintahan Kerajaan Singhasari di wilayah Jawa bagian timur Kempers, 195973. Arca Gaṇeśa Bara yang terbuat dari batu tersebut memiliki ukuran tinggi 69 cm, lebar 107 cm, dan tebal 110 cm. Penggarapan arca halus dan detail, dengan kontur permukaan yang jelas. Unsur hias raya dan menampilkan kesan yang mewah. Gaṇeśa digambarkan dalam keadaan sikap duduk utkutikasana. Lapik arca berbentuk oval dan dihiasi ornamen medalion pada seluruh permukaannya. Sisi depan lapik dihiasi deretan tengkorak, sedangkan sisi belakangnya dihiasi inskripsi. Kepalanya mengenakan jatamakuta yang tidak terlalu tinggi, tanpa ornamen candra kapala. Pada bagian belakang kepalanya, terdapat sirascakra berbentuk oval. Wajah Gaṇeśa digambarkan memiliki raut muka yang tenang. Mata digambarkan secara detail, yakni berukuran besar dalam keadaan setengah terbuka, sudut luar mata sedikit naik ke atas, kelopak mata terlihat jelas, serta bola mata mengarah ke bawah. Alis nampak tebal dan menonjol. Belalainya bergaris-garis horizontal dan mengarah ke sebelah kiri itampiri. Kedua gadingnya digambarkan patah, serta telinganya merupakan telinga gajah yang lebar. Gaṇeśa mengenakan upawita berbentuk untaian tengkorak berukuran kecil yang diselempangkannya pada bahu sebelah kiri. Ia mengenakan berbagai perhiasan yang raya. Mahkotanya dihiasi jamang berbentuk persegi tebal dan tinggi, berhias untaian ora dan guirlande kecil, serta ornamen kelopak bunga besar. Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 92Gambar Arca Ganesha Bara, tampak depan dan belakangSumber Kempers 1959Gaṇeśa memiliki empat tangan dengan sikap tangan kanan depan memegang ekadanta patahan gadingnya; tangan kanan belakang memegang aksamala tasbih; tangan kiri depan memegang modaka mangkuk manisan; serta tangan kiri belakang diduga memegang parasu. Kedua lengannya mengenakan kelat bahu berbentuk lembaran berhias untaian yang dihiasi kelopak bunga berukuran besar. Pergelangan tangannya mengenakan dua susun gelang yang terdiri atas gelang untaian kelopak bunga dan gelang bulat bergesper bunga. Pinggangnya dihiasi tali polos bergesper kelopak bunga. Perutnya yang buncit memperlihatkan pusar berukuran besar yang tersembul. Pergelangan kakinya mengenakan gelang kaki berbentuk ukiran  mengenakan kain panjang hingga pergelangan kaki. Kain dihiasi oleh motif yang kini dikenali sebagai motif kawung. Motif kawung tersebut saling rapat memenuhi permukaan kain. Sela-sela motif kawung diisi oleh motif kelopak bunga, sehingga tidak nampak ruang kosong pada permukaan kain. Penggambaran motif nampak sangat jelas pada bagian belakang arca. Bagian belakang arca juga memperlihatkan dua susun sabuk yang mengikat Atina Winaya 93kain, terdiri atas sabuk berbentuk rantai dan sabuk berbentuk guirlande. Kain dihiasi oleh dua uncal yang menjulur di bagian depan kaki. Uncal tersebut berupa kain lebar berhias motif wajik bersusun yang diisi oleh ornamen kelopak bunga. Sepanjang sisi uncal dihiasi ornamen untaian kelopak bunga kecil, serta ujung uncal dihiasi ornamen ora menjulur. Pada bagian tengah di belakang kain, terdapat sampur bermotif sama dengan kain yang dikenakannya. Sampur tersebut menjulur ke arah depan arca diduduki oleh Gaṇeśa.Gambar Fokus penampakan kain pada Arca Ganesha Bara, Sumber Kempers 1959, diedit oleh Winaya 20206. Arca Gaṇeśa Singhasari Pada tahun 1803, kompleks percandian Singhasari yang terletak di Malang, Jawa Timur, ditemukan kembali oleh Nicolaus Englehard, seorang gubernur kolonial wilayah Pantai Timur Laut Jawa. Setelah membuat laporan mengenai penemuan tersebut, ia memindahkan lima arca bermutu tinggi ke Belanda pada tahun 1827, dengan alasan ingin menyelamatkannya dari kerusakan. Kelima arca yang merepresentasikan puncak gaya seni Singhasari abad ke-13 tersebut adalah Mahakala, Nandiswara, Durga, Gaṇeśa, dan Bhairawa, Kinney, Klokke, dan Kieven 2003. Dulu, Gaṇeśa berada di relung sisi timur Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 94Candi Singhasari, namun kini arca tersebut berada di Museum Rijksmuseum voor Volkenkunde Leiden, Belanda. Gambar Arca Ganesha Singhasari Sumber Kempers 1959Arca Gaṇeśa Singhasari terbuat dari batu dan memiliki ukuran tinggi 154 cm. Penggarapan arca halus dan detail, dengan kontur permukaan yang jelas. Unsur hias raya dan menampilkan kesan yang mewah. Gaṇeśa digambarkan dalam keadaan sikap duduk maharajalilasana, yakni kaki kanan ditekuk dengan lutut mengarah ke atas dan kaki kiri ditekuk dengan lutut mengarah ke samping. Ia bersandar pada stela berbentuk oval yang dihiasi ornamen cakram bersinar di sisi kiri dan kanan. Ornamen tersebut merupakan cikal bakal bentuk “surya Majapahit” Kempers, 195979. Pada bagian belakang kepala, Atina Winaya 95terdapat sirascakra berbentuk oval. Sisi kiri dan kanan sirascakra dihiasi pita-pita yang berkibar ke arah atas. Gaṇeśa duduk pada lapik arca berbentuk oval yang dihiasi oleh deretan tengkorak melingkari sisinya. Kepalanya mengenakan jatamakuta yang tinggi dihiasi ornamen candra kapala, untaian mutiara dan tumpal. Sebagian rambutnya disanggul tinggi dan sebagian yang lain terurai di kedua bahu. Tengkorak merupakan tur yang amat menonjol, menghiasi perhiasan dan pakaian yang dikenakannya. Matanya berukuran kecil, berbentuk bulat, dan terbuka lebar. Belalainya yang bergaris-garis horizontal mengarah ke sebelah kiri itampiri. Telinganya merupakan telinga gajah yang lebar. Gaṇeśa mengenakan upawita berbentuk ular yang diselempangkannya pada bahu sebelah kiri. Ia mengenakan berbagai perhiasan yang raya. Mahkotanya dihiasi jamang berbentuk persegi tebal dan tinggi, berhias untaian mutiara, serta ornamen kelopak bunga besar dan tengkorak di bagian tengahnya. Anting yang dikenakannya berbentuk tengkorak besar. Ia juga mengenakan ikat dada berbentuk untaian bunga dan selendang berupa tali melebar polos yang diselempangkan di bahu memiliki empat tangan dengan sikap tangan kanan depan memegang modaka mangkuk manisan yang berasal dari tengkorak; tangan kanan belakang memegang parasu; tangan kiri depan juga memegang modaka; serta tangan kiri belakang memegang aksamala tasbih. Kedua lengannya mengenakan kelat bahu berbentuk lembaran berhias untaian yang dihiasi simbar berbentuk tumpal. Pergelangan tangannya mengenakan gelang berbentuk lembaran berhias untaian. Perutnya yang buncit memperlihatkan pusar berukuran besar yang tersembul. Pergelangan kakinya mengenakan gelang kaki berbentuk tali berhias untaian dan bergesper mengenakan kain panjang hingga pergelangan kaki. Kain dihiasi motif garis-garis yang membentuk wajik belah ketupat yang rapat. Wajik-wajik tersebut diisi oleh motif tengkorak dan ora. Kain diikat dengan sabuk, dihiasi uncal panjang berbentuk tali melebar polos yang terbelah di bagian ujungnya, serta sampur di sisi kiri dan kanan Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 96Gambar Fokus penampakan kain pada Arca Ganesha Singhasari Sumber Kinney, Klokke, dan Kieven 2003, diedit oleh Winaya 20207. Arca Gaṇeśa KarangkatesArca Gaṇeśa Karangkates ditemukan di Desa Karangkates, Malang, Jawa Timur. Arca tersebut memiliki keunikan tersendiri, karena menggambarkan Gaṇeśa dalam sikap berdiri serta memiliki ukuran yang besar hampir mencapai 3 meter. Kondisi arca yang terbuat dari batu tersebut dapat dikatakan sangat baik, yakni memperlihatkan keutuhan dan penggarapan detail arca yang masih jelas digambarkan dalam keadaan sikap samabanga, yakni sikap berdiri tegak lurus membentuk satu garis dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia bersandar pada stela berbentuk kurawal yang mengikuti bentuk tubuhnya. Di belakang kepalanya terdapat sirascakra berbentuk oval yang dihiasi cakram bersinar di kedua sisinya. Cakram di sebelah kanan berbentuk lingkaran, sedangkan cakram di sebelah kiri berbentuk bulan sabit. Di bawah cakram tersebut, terdapat pita yang berkibar ke arah atas. Gaṇeśa berdiri di atas lapik berbentuk setengah lingkaran yang dihiasi deretan tengkorak mengelilingi Atina Winaya 97sisinya. Apabila diperhatikan secara seksama, ornamen yang terdapat pada Gaṇeśa Karangkates amat mirip dengan Gaṇeśa Singhasari. Tengkorak merupakan tur yang amat menonjol, menghiasi perhiasan dan pakaian yang dikenakannyaGambar Arca Ganesha Karangkates Sumber Susetyo 2015Kepalanya mengenakan jatamakuta yang tinggi dihiasi ornamen candra kapala, untaian mutiara, dan tumpal. Sebagian rambutnya disanggul tinggi dan sebagian yang lain terurai di kedua bahu. Matanya berukuran kecil, berbentuk bulat, dan terbuka lebar. Belalainya mengarah ke sebelah kiri itampiri. Telinganya merupakan telinga gajah yang lebar. Gaṇeśa mengenakan upawita berbentuk ular yang diselempangkannya pada bahu sebelah kiri. Ia mengenakan berbagai perhiasan yang raya. Mahkotanya Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 98dihiasi jamang berbentuk persegi tebal dan tinggi, berhias untaian mutiara dan tumpal bermotif tengkorak. Anting yang dikenakannya berbentuk tengkorak besar. Ia juga mengenakan ikat dada berbentuk untaian mutiara. Puting dada dan pusar digambarkan jelas. Gaṇeśa memiliki empat tangan dengan sikap tangan kanan depan memegang modaka mangkuk manisan yang berasal dari tengkorak; tangan kanan belakang memegang parasu; tangan kiri depan juga memegang modaka; serta tangan kiri belakang memegang aksamala tasbih. Kedua lengannya mengenakan dua susun kelat bahu. Kelat bahu atas berbentuk untaian mutiara bersimbar tumpal yang dihiasi motif tengkorak, sedangkan kelat bahu bawah berbentuk untaian mutiara. Pergelangan tangannya mengenakan gelang berbentuk untaian mutiara. Ikat pinggangnya pun berbentuk untaian mutiara. Pergelangan kakinya mengenakan gelang kaki berbentuk tali berhias untaian dan bergesper  Motif tengkorak pada kain arca Ganesha Karangkates Sumber Susetyo 2015, diedit Winaya 2020Atina Winaya 99Gaṇeśa mengenakan kain panjang hingga pergelangan kaki. Kain dihiasi motif garis-garis yang membentuk wajik yang rapat. Wajik-wajik tersebut diisi oleh motif tengkorak dan ora. Diduga pengerjaan motif kain hanya diukir secara tipis, sehingga cepat menjadi aus. Kain diikat dengan sabuk berbentuk sulur bergesper tengkorak. Pada bagian tengah kain, terdapat wiru berjumlah satu lipit. Kain dihiasi dua uncal sepanjang lutut berhias ora menjulur, serta sampur berlipit sepanjang pergelangan kaki di kedua sisi kain. Ragam dan Makna Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di JawaPada bagian sebelumnya, telah diuraikan deskripsi tujuh arca Gaṇeśa yang mengenakan kain bermotif. Adapun ketujuh arca Gaṇeśa tersebut adalah Gaṇeśa Balai Konsevasi Borobudur, Gaṇeśa Museum Sonobudoyo, Gaṇeśa Candi Banon, Gaṇeśa Dieng, Gaṇeśa Bara, Gaṇeśa Singhasari, dan Gaṇeśa Karangkates. Apabila diamati aspek ruangnya, empat Gaṇeśa yang pertama disebutkan, ditemukan di wilayah Jawa bagian tengah, sedangkan tiga Gaṇeśa yang terakhir, ditemukan di wilayah Jawa bagian timur. Meskipun seluruh arca tersebut sudah tidak berada pada konteks aslinya sudah dipindahkan ke tempat lain, namun pengamatan terhadap gaya seni dapat mendukung klasikasi arca ke dalam kelompok gaya seni tertentu. Berdasarkan hasil pengamatan, arca-arca Gaṇeśa tersebut mengindikasikan ciri gaya seni sesuai daerah penemuannya. Arca Gaṇeśa Bara, Gaṇeśa Singhasari, dan Gaṇeśa Karangkates menampilkan ornamen tengkorak yang kuat. Ornamen tersebut merupakan salah satu ciri arca periode Singhasari abad ke-13 yang kerap ditemukan di wilayah Jawa bagian makna yang terkandung di balik penggambaran motif kain pada arca Gaṇeśa akan ditelusuri melalui analisis komparatif. Analisis tersebut dilakukan dengan cara membandingkan satu budaya materi dengan budaya materi lainnya yang memiliki persamaan/kemiripan konteks tertentu. Perlu diketahui bahwa temuan arkeologis tidak serta merta dapat “berbicara” sendiri mengenai fungsi dan maknanya. Guna mengetahui hal tersebut, arkeolog perlu menemukan cara untuk mengungkapnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan komparasi antara temuan arkeologi dengan benda yang telah Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 100diketahui fungsi dan maknanya. Kedua benda yang dibandingkan tidak selalu berasal dari satuan waktu yang sama. Hal tersebut dikarenakan perbandingan selalu bersifat terbatas Jansen, 2008110. Dalam hal ini, penggambaran motif yang terdapat pada kain Gaṇeśa akan dibandingkan dengan motif batik Jawa. Hal tersebut didasari oleh dua alasan utama, yaitu persamaan/kemiripan bentuk shape dan persamaan wilayah place. Adapun satuan waktu time berbeda, di mana motif kain pada arca Gaṇeśa diperkirakaan dibuat pada abad ke-8 hingga 13 dapat dikatakan sebagai motif “batik” kuno, sedangkan motif batik Jawa diperkirakan berkembang secara mapan pada abad ke-17 yang kemudian dikenali sebagai motif batik Jawa “modern. Studi mengenai motif batik Jawa telah banyak dilakukan, salah satunya terkait bentuk dan makna. Perbandingan di antara keduanya diharapkan mampu menjelaskan makna di balik penggambaran motif yang terdapat pada kain arca memasuki pembahasan utama, perlu dipahami terlebih dahulu denisi batik. Batik adalah seni menggambar di atas kain yang dilakukan melalui teknik penggunaan canting atau cap yang dicelupkan pada bahan perintang warna berbahan malam lilin yang diterapkan pada kain. Batik berasal dari kata amba yang berarti luas atau lebar; dan nitik yang berarti titik. Dengan demikian, batik dapat diartikan sebagai gambar titik-titik pada kain yang luas/lebar Wulandari, 20114. Sejarah batik diduga telah ada sejak periode Mataram Kuno di Jawa abad ke-8, namun secara meluas berkembang pada periode Mataram Islam abad ke-17. Kerajaan Mataram Islam mempopulerkan kembali batik melalui pemakaiannya di lingkungan keraton, baik oleh keluarga raja maupun para abdi dalam. Lambat-laun, keluarga para abdi dalam yang tinggal di luar keraton ikut memproduksi batik sehingga dapat dikenakan pula oleh masyarakat awam Yulianita dan Sukendro, 2019245. Dalam suatu karya batik, motif merupakan perpaduan antara bentuk, garis, dan isen yang membentuk kesatuan yang indah. Motif batik terdiri atas tiga bentuk utama, yaitu motif utama, motif tambahan, dan isen-isen motif. Motif utama adalah suatu ragam hias yang menjadi penentu pada keseluruhan motif batik, umumnya memiliki makna tertentu yang menjadi “jiwa” dari batik tersebut. Motif tambahan adalah ragam hias yang tidak memiliki arti khusus Atina Winaya 101dalam pembentukan motif, umumnya ditujukan untuk pengisian bidang. Adapun isen-isen motif adalah gabungan titik atau garis yang bertujuan untuk pengisian ragam hias atau bidang Susanto, 1980212. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat dibuat suatu rincian atas deskripsi motif kain yang dikenakan Gaṇeśa. Rincian tersebut dapat dilihat pada Tabel Tabel Motif kain pada arca Gaṇeśa di ArcaLokasiPenemuanMotifUtamaMotif TambahanIsen-Isen BalaiKonservasi Boro-budurJawa Tengah Medalion kelopak bunga/jlamprangKelopakbunga- Motif Museum SonobudoyoJawa Tengah Ceplok bunga/kelopak bunga/truntum- - Motif reng-gang3. Gaṇeśa Candi BanonJawa Tengah Ceplok bunga/kelopak bunga/ truntum- Garis horizontalMotif reng-gang4. Gaṇeśa Dieng Jawa Tengah Medalion kelopak bunga/jlamprang- - Motif reng-gang5. Gaṇeśa Bara Jawa Timur KawungKelopakbunga- Motif rapat6. Gaṇeśa Singhasari Jawa Timur Tengkorak FloraGarismembentuk wajikMotif rapat7. Gaṇeśa Karang-kates Jawa Timur Tengkorak FloraGarismembentuk wajikMotif rapatTabel memperlihatkan data bahwa setidaknya terdapat empat motif utama pada kain yang dikenakan Gaṇeśa, yaitu motif medalion kelopak bunga jlamprang, ceplok bunga truntum, kawung, dan tengkorak. Tidak semua kain dihiasi dengan motif tambahan. Bagi yang memiliki motif tambahan, umumnya berupa kelopak bunga atau motif ora lainnya sulur-suluran. Beberapa kain diberi isen-isen motif berupa garis, baik horizontal maupun diagonal yang membentuk wajik belah ketupat. Penggambaran motif kain ada yang Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 102digambarkan secara rapat dan renggang. Motif yang rapat seluruhnya diselingi motif tambahan berupa kelopak bunga atau ora lainnya. Tujuannya untuk memenuhi seluruh permukaan kain, sehingga tidak ada kekosongan. Adapun motif yang digambarkan secara renggang, hanya menampilkan motif utama tersebut tanpa adanya motif tambahan. Rincian pada tabel memperlihatkan adanya pola yang tercipta. Keempat arca Gaṇeśa yang berasal dari Jawa Tengah mengenakan motif yang berkenaan dengan penggambaran kelopak bunga, baik dalam bentuk ceplok bunga truntum maupun medalion jlamprang. Tiga di antaranya mengenakan motif kain yang digambarkan renggang, sedangkan satu arca lainnya mengenakan motif kain yang digambarkan rapat. Lalu, arca Gaṇeśa yang berasal dari Jawa Timur tidak lagi menjadikan motif kelopak bunga sebagai motif utama, melainkan memilih motif lainnya seperti kawung atau tengkorak. Seluruh arca Gaṇeśa Jawa Timur mengenakan motif kain yang digambarkan rapat. Penggambaran motif pada kain, baik secara renggang maupun rapat, nampaknya bisa dihubungkan dengan penggambaran relief candi di masa Jawa kuno. Seni relief masa Jawa kuno secara garis besar dibagi ke dalam dua kategori, yaitu gaya Klasik Tua yang berkembang pada abad ke-8 hingga 10 di wilayah Jawa bagian tengah dan gaya Klasik Muda yang berkembang pada abad ke-11 hingga 15 di wilayah Jawa bagian timur Munandar 200455. Salah satu ciri penggambaran relief gaya Klasik Muda adalah adanya unsur horror vacui, yakni kesan “takut” terhadap ruang kosong. Misalnya, relief candi bergaya Klasik Muda umumnya memiliki panil bidang relief yang dipenuhi oleh ragam hias ora dan fauna Santiko, 201225. Hal tersebut dipandang selaras dengan penggambaran motif yang diterapkan di atas kain. Motif kain pada arca-arca Gaṇeśa yang ditemukan di Jawa Timur selalu digambarkan rapat, penuh, dan terkesan “berupaya” memenuhi ruang kosong pada seluruh permukaan kain sebagaimana penggambaran relief candi Klasik Muda. Sebaliknya, motif kain pada arca-arca Gaṇeśa yang ditemukan di Jawa Tengah, secara umum nampak lebih “ringan” dan sederhana, namun tetap menampilkan kesan anggun sebagaimana penggambaran relief Candi Klasik Tua. Adanya motif kelopak bunga yang digambarkan rapat, untuk sementara dianggap sebagai motif lanjutan dari motif kelopak bunga yang renggang motif peralihan. Berikutnya, ragam motif utama yang terdapat pada Atina Winaya 103kain Gaṇeśa akan ditelusuri maknanya berdasarkan makna yang telah diketahui atas motif-motif pada batik Jawa. Makna tersebut diuraikan sebagai berikut1. Medalion kelopak bunga/jlamprang Motif jlamprang pada dasarnya merupakan bentuk geometris berupa lingkaran. Motif tersebut dipengaruhi oleh motif kain patola yang berasal dari Gujarat, India. Jlamprang diartikan sebagai seseorang atau prajurit yang akan maju ke medan perang, berbaris memegang senjata dan perisai Meliono, 2014126. Pendapat lain mengatakan bahwa jlamprang merupakan bentuk kosmologi dalam agama Hindu dan Buddha yang didasari ragam hias “ceplokan” dan bunga padma Asa, 2006.Gambar Motif jlamprang pada batik Jawa Sumber Ceplok bunga/kelopak bunga/truntum Motif truntum termasuk ke dalam kelompok motif ceplok yang menggambarkan bunga tampak depan pada bidang berbentuk segi empat. Truntum berasal dari kata tuntum yang berarti tumbuh lagi. Motif tersebut merupakan lambang cinta yang bersemi kembali. Motif truntum melambangkan tuntunan yang mengantar kedua pengantin memasuki kehidupan pernikahan yang berliku. Kehidupan rumah tangga akan langgeng dengan kasih sayang yang senantiasa bersemi atau tumbuh. Motif truntum umumnya dikenakan oleh orang tua mempelai pada waktu upacara pernikahan Parmono, 199534.Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 104Gambar Motif truntum pada batik Jawa Sumber KawungMotif kawung diilhami oleh Pohon Kawung, yaitu sejenis Pohon Aren yang buahnya berbentuk bulat lonjong berwarna putih kolang-kaling. Motif tersebut membentuk lingkaran-lingkaran yang saling berinteraksi. Variasi motifnya amat beragam. Motif kawung memiliki makna simbolis layaknya Pohon Aren yang bagian-bagiannya sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, mulai dari batang, daun, ijuk, nira, hingga buahnya. Lebih dalam, seseorang yang mengenakan motif kawung menjadi manusia yang bermanfaat di dalam kehidupan. Pada masa Mataram Islam, kawung merupakan motif larangan yang dianggap sakral, yakni hanya boleh dikenakan oleh raja beserta keluarganya. Filoso tersebut merupakan konsep yang diwariskan dari kebudayaan Hindu Jawa Parmono, 199533-34.Gambar Motif truntum pada batik Jawa Sumber Winaya 1054. Tengkorak Motif tengkorak tidak ditemukan di dalam khazanah motif batik Jawa. Setelah membandingkan aspek bentuk yang terdapat pada motif kain yang dikenakan arca Gaṇeśa dengan motif batik Jawa, dapat diketahui bahwa terdapat kemiripan bentuk di antara keduanya. Dugaan bahwa terdapat kesinambungan antara motif kain yang dikenakan oleh arca pada masa Jawa kuno dengan motif batik Jawa “modern” semakin kukuh. Artinya, motif-motif kain yang dikenakan oleh arca Jawa Kuno merupakan cikal bakal motif batik Jawa yang berkembang pada masa aspek bentuk, perbandingan berikutnya dilakukan terhadap konsep yang menaungi tokoh Gaṇeśa dengan makna losos motif batik Jawa. Motif jlamprang memiliki makna representasi kosmologi di dalam agama Hindu yang tentu saja memiliki keterkaitan dengan Gaṇeśa sebagai salah satu tokoh mitologi Hindu. Motif jlamprang dimaknai pula sebagai seorang prajurit yang akan berperang. Prajurit memiliki konotasi dengan seorang “penjaga” yang identik dengan peran Gaṇeśa. Kemudian, motif truntum yang memiliki loso kasih sayang yang tumbuh dan bersemi dapat dikaitkan dengan sifat Gaṇeśa yang mengasihi manusia dengan cara melindunginya dari malapetaka. Adapun motif kawung diyakini sebagai motif yang bersifat sakral. Hal itu tentunya tidak mengherankan apabila motif kawung dikenakan oleh Gaṇeśa, dewa yang dianggap suci. Sebagaimana makna motif kawung, Gaṇeśa merupakan gur dewa yang populer dipuja karena dianggap mampu memberikan manfaat di dalam kehidupan manusia, yakni sebagai dewa pelindung yang mampu menolak marabahaya, serta dewa kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan. Pujanya diyakini mampu memberikan keselamatan, sehingga dilakukan pada setiap awal tindakan dan pekerjaan, seperti ketika hendak berpergian, membangun rumah, bahkan menulis buku Ions, 1967100. Meskipun demikian, makna motif yang dikenakan oleh arca Gaṇeśa ataupun arca Jawa Kuno lainnya bisa saja memiliki perbedaan dengan makna motif batik Jawa yang “dimantapkan” pada masa Mataram Islam. Hal tersebut dikarenakan terjadinya pergeseran nilai-nilai budaya yang dipengaruhi oleh perubahan agama yang dianut. Satu-satunya motif utama kain pada arca Gaṇeśa yang tidak dijumpai pada motif batik Jawa kuno adalah motif tengkorak. Penggambaran motif Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 106tengkorak pada kain arca Gaṇeśa, nampaknya dilandasi oleh berkembangnya aliran Tantrayana pada masa Singhasari yang berlangsung pada abad ke-13 di Jawa bagian timur. Umumnya, arca-arca Tantrayana digambarkan dalam wujud menyeramkan karena dihubungkan dengan berbagai ritual dalam aliran Tantrayana. Salah satu ritual yang dilakukan guna mencapai moksa pelepasan adalah melalui upacara Bairawa yang dilakukan di ksetra halaman kuburan. Ksetra tersebut merupakan tempat penguburan bagi jenazah yang dijadikan persembahan upacara Suleiman, 198526. Merujuk pada proses ritual yang dilakukan, ornamen tengkorak merupakan simbol yang merepresentasikan aliran Tantrayana. Ornamen tersebut sering kali ditemui pada arca-arca Tantrayana, baik pada ornamen utama maupun pendukung arca, salah satunya diterapkan pada motif kain. Pada perkembangannya, motif tengkorak tidak berlanjut hingga masa berikutnya, yakni masa Mataram Islam. Hal tersebut dikarenakan adanya perubahan agama besar yang dianut, sehingga konsep budaya lama yang dinilai tidak relevan kemudian ditinggalkan. Sebelum mengakhiri pembahasan, perlu disajikan sekilas kisah di dalam purāna yang menyebutkan secara sepintas pakaian yang dikenakan Gaṇeśa. Dalam aliran Tantrayana, terdapat ritual meditasi yang ditujukan untuk Gaṇeśa melalui pemusatan konsentrasi sebagai berikut.“Memuja Gaṇeśa dalam warna merah terang vermillion, gur yang memiliki tiga mata, perut besar, menggenggam sankha kerang, pāsa jerat, ekadanta gading, dan simbol berkat. Belalainya berhias modaka mangkuk anggur yang dipegangnya. Pada dahinya terdapat sinar bulan sabit. Ia memiliki kepala raja gajah. Pipinya senantiasa dilumuri anggur. Tubuhnya dihiasi oleh gelungan-gelungan kerajaan. Ia mengenakan pakaian berwarna merah dan tubuhnya berlumur wewangian Renou, 1961152”.Menarik untuk dicermati bahwa Gaṇeśa diidentikkan dengan warna merah cerah atau merah delima vermillion. Bait purāna tersebut menyatakan merah cerah sebagai warna gur Gaṇeśa sekaligus warna pakaian yang dikenakannya. Meskipun konsep tersebut tertuang secara khusus di dalam kitab Tantrayana, tetapi pengetahuan tersebut memberikan wawasan mengenai warna pakaian Atina Winaya 107kain yang dikenakan Gaṇeśa. Kehadiran Gaṇeśa beraliran Tantrayana di Jawa mungkin saja didasari oleh penggambaran tersebut. Berbagai konsep yang diyakini melekat pada gur Gaṇeśa, termasuk bentuk ataupun warna pakaian yang dikenakannya, menjadi penting bagi pemujanya guna memusatkan konsentrasi pada saat melakukan meditasi sebagai bentuk ritual pemujaan. PenutupGaṇeśa merupakan dewa yang amat populer di kalangan umat Hindu. Pemeluknya meyakini Gaṇeśa sebagai sosok yang mampu memberikan keselamatan dan perlindungan dari berbagai malapetaka. Tidak hanya itu, ia juga dipercayai sebagai sumber kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan. Kepopuleran Gaṇeśa tak hanya ditemui di India, melainkan juga di Jawa pada pada abad ke-8 hingga 15. Arca-arca Gaṇeśa kerap ditemui di berbagai wilayah Jawa, khususnya di wilayah Jawa bagian tengah dan arca Gaṇeśa yang terbuat dari batu memperlihatkan penggambaran motif pada kain yang dikenakannya. Hasil pengamatan terhadap ragam motif tersebut menunjukkan adanya pola yang cukup teratur. Gaṇeśa yang ditemukan di wilayah Jawa bagian tengah, pada umumnya mengenakan motif yang terbentuk dari unsur kelopak bunga, yakni motif medalion kelopak bunga yang kini dikenali sebagai motif jlamprang, atau motif ceplok bunga yang kini dkenali sebagai motif truntum. Penggambaran motif pada umumnya renggang, tanpa hiasan yang mengisi sela-sela motif. Kesan yang ditampilkan sederhana, namun indah dan anggun. Terdapat satu arca Gaṇeśa yang mengenakan motif jlamprang yang rapat. Mungkin saja motif jlamprang rapat tersebut merupakan perkembangan lebih lanjut dari motif jlamprang/truntum yang renggang, atau untuk sementara dapat dikatakan sebagai motif peralihan. Adapun Gaṇeśa yang ditemukan di wilayah Jawa bagian timur, pada umumnya tidak lagi mengenakan motif bernuansa kelopak bunga yang sederhana, melainkan mulai menggunakan motif-motif kreasi yang diterapkan secara rapat dan penuh, seakan-akan terdapat keharusan untuk memenuhi bidang ruang yang kosong horror vacui. Motif kreasi tersebut antara lain adalah kawung dan tengkorak. Hal tersebut bisa saja terjadi seiring perubahan gaya seni Klasik Tua Penggambaran Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna 108menuju Klasik Muda pada masa Jawa kuno, di mana penerapan unsur seni yang semula ajek berdasarkan kitab keagamaan, pada akhirnya berkembang mengikuti sentuhan kreativitas para motif yang menghiasi kain pada arca Gaṇeśa secara umum memiliki persamaan bentuk dengan motif-motif yang terdapat pada batik Jawa. Analisis komparatif tidak hanya dilakukan untuk membandingkan bentuk, melainkan dilakukan juga untuk membandingkan makna yang terdapat di dalam motif batik Jawa dengan makna tokoh Gaṇeśa. Hasil analisis menunjukkan adanya keselarasan di antara keduanya, yang mungkin saja mengindikasikan bahwa motif yang dikenakan arca Gaṇeśa merujuk pada sifat/konsep yang dimilikinya. Namun, terdapat satu motif yang tidak ditemui pada motif batik Jawa, yaitu motif tengkorak. Kiranya motif tersebut sudah dianggap tidak relevan lagi pada periode sesudahnya, yakni periode Mataram Islam. Perubahan agama besar yang dianut, lambat-laun menyebabkan transformasi gagasan dan perilaku masyarakat, di mana nilai-nilai yang masih ingin dipertahankan dibalut dengan “kemasan” baru, sedangkan nilai-nilai yang dirasa usang dibiarkan hilang tergerus oleh zaman. Atina Winaya 109DAFTAR PUSTAKAAgarwal, Ruchi. 2018. “Ganesa in the Hindu Pantheon”, dalam Hinduism and Tribal Religions, Encyclopedia of Indian Religions P. Jain dkk, eds. Dordrecht Springer Kusnin. 2006. Batik Pekalongan dalam Lintasan Sejarah. Pekalongan Paguyuban Pecinta Batik Gde. 2015. “Arca Ganesa Bertangan Delapan Belas di Pura Pingit Melamba Bunutin, Kintamani, Bangli”, dalam Forum Arkeologi Vol. 28 1 Wendy Doniger. 1980. Hindu Myths A Sourcebook Translated from The Sanskrit. Middlesex Penguin Alice. 1971. Ganesa A Monograph in the Elephant-Faced God. New Delhi Munshiram Veronica. 1967. Indian Mythology. London Paul I. 2008. “Discourse Analysis and Focault’s Archaeology of Knowledge”, dalam International Journal of Caring Sciences Vol. 1 3 Bernet. 1959. Ancient Indonesian Art. Cambridge Harvard University Ann R., Marijke J. Klokke, dan Lydia Kieven. 2003. Worshiping Siva and Buddha The Temple Art of East Java. Honolulu University of Hawai’i Ratnaesih. 1997. Ikonogra Hindu. Depok Fakultas Sastra Universitas Irmayanti. 2014. “Batik dan Industri Kreatif Sebuah Proses Kreatitas Manusia dalam Kajian Studi Humaniora”, dalam Paradigma Jurnal Kajian Budaya Vol. 4 2 117-130. Morley, Grace. 2005. Indian Sculpture. New Delhi Roli Agus Aris. 2004. “Karya Sastra Jawa Kuno yang Diabadikan pada Relief Candi-Candi Abad ke-13–15 Masehi”, dalam Makara Sosial Humaniora Vol. 8 2 Kartini. 1995. “Simbolisme Batik Tradisional”, dalam Jurnal Filsafat Vol. 23 28-35. 110Rao, Gopinatha. 1968. Elements of Hindu Iconography. New Delhi Motilal Louis. 1961. Great Religions of Modern Man Hinduism. New York Washington Square Press. Santiko, Hariani. 2012. “Candi Panataran Candi Kerajaan Masa Majapahit”, dalam Kalpataru Majalah Arkeologi Vol. 21 1 Edi. 1994. Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singhasari Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian. Jakarta Michael E. dan Peter Peregrine. “Approaches to Comparative Archaeology”, dalam The Comparative Archaeology of Complex Societies. Cambridge Cambridge University Sewan. 1980. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Jakarta Balai Penelitian Batik dan Kerajinan, Departemen Sukawati, dan Amelia. 2015. Peradaban Hindu Buddha di Kabupaten Malang Tahap I. Laporan Penelitian Arkeologi. Jakarta Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Suleiman, Satyawati. 1985. “Peninggalan-Peninggalan Purbakala di Padang Lawas”, dalam Amerta 2 Bruce G. 2003. Understanding Early Civilizations A Comparative Study. New York Cambridge University Ruth dan Saleem Kidwai eds. 2000. “Shiva Purana The Birth of Ganesha Sanskrit”, dalam Same-Sex Love in India Readings from Literature and History. New York Palgrave Atina, dkk. 2019. Gaya Seni Ikonogra Mataram Kuno dan Persebarannya di Jawa, Sumatra, dan Semenanjung Malaysia Indikasi Aktivitas Kemaritiman Nusantara pada Abad ke-8 – 10 Maseh. Laporan Penelitian Arkeologi. Jakarta Pusat Penelitian Arkeologi Ari. 2011. Batik Nusantara Makna Filosos, Cara Pembuatan, dan Industri Batik. Yogyakarta Chelsea dan Gregorius Genep Sukendro. 2019. “Corak Batik dan Perilaku Komunikasi Analisis Motif Batik Jawa dan Batik Solo”, dalam Koneksi 1 244-249. Sumber DaringBalai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah. 9 Januari 2020. Cerita di Balik Penyelamatan Temuan Arca Dieng. Diunduh tanggal 25 April Winaya 111Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. 1902. Statue of Ganesa lihat no. 1117b, dalam Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indie OD 1169b. Diunduh tanggal 23 April Uje. 5 Januari 2020. Temuan Batu Bata di Arca Ganesha Terbesar Dieng Ungkap Fakta Baru. Diunduh tanggal 25 April Aries dan Dwi Royanto. 8 Januari 2020. Penampakan Arca Ganesha yang Ditemukan Petani di Dieng. Diunduh tanggal 25 April referensi gambar motif batik. Diunduh tanggal 27 April Motif Kain pada Arca Gaṇeśa di Jawa Ragam dan Makna ResearchGate has not been able to resolve any citations for this YulianitaGregorius Genep SukendroBatik merupakan ciri khas budaya bangsa Indonesia di mana karya seni ini pada setiap corak dan motifnya terdapat makna, filosofi dari masing-masing daerahnya. Dalam hal ini, budaya dan komunikasi sangat berhubungan. Perilaku komunikasi menjadi hal utama dalam berkomunikasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui perilaku komunikasi yang terdapat pada motif batik Jogja, dan batik Solo dan mengetahui ciri khas motif yang dimiliki batik Jogja dan batik Solo. Teori yang digunakan adalah teori motif dan teori perilaku komunikasi. Sedangkan metode yang dipakai yakni metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Dengan metode pengumpulan data yang akan diperoleh dari hasil wawancara mendalam dan observasi. Hasil yang diperoleh adalah perilaku komunikasi yang terjadi tidak hanya melalui komunikasi verbal tetapi juga melalui komunikasi non-verbal. Pada komunikasi verbal pola komunikasi mengarah pada pemberian informasi mengenai arti dan makna dari ciri-ciri motif batik Jogja dan batik Solo kepada masyarakat. Sementara pada komunikasi non-verbal pola komunikasinya mengarah pada pesan dan tanda yang disampaikan melalui simbol dan gambar dari motif batik itu E. Smith Peter N. PeregrineArchaeology is inherently comparative. Comparison is necessary to understand the material record, for one cannot identify or understand an object never before seen without comparing it to a known object. Comparison is also necessary to understand variation over time and space, for one cannot identify or investigate variation unless one has examples spanning a range of variation, nor can one examine change without examples spanning a range of time. Comparative analysis is the only way to identify regularities in human behavior, and it is also the only way to identify unique features of human societies. Indeed, to Bruce G. Trigger the comparative nature of archaeological data and analysis places archaeology at the heart of the most important issues in the social sciences The most important issue confronting the social sciences is the extent to which human behavior is shaped by factors that operate cross-culturally as opposed to factors that are unique to particular cultures. Trigger 20033 In this chapter we outline the ways archaeologists have used comparison to understand the material record and to explore variation over time and space. After a brief history of comparative research on ancient societies, we review the variety of approaches used by the authors of this volume using seven dimensions of the comparative method in Melionop>This paper would like to discuss that batik has three types consist of kain batik tulis, kain batik print and batik fabrics and their variety of motifs. The scope of research on batik originated from the area of Bandung, Cirebon, Pekalongan and Yogyakarta-Surakarta Solo . This research analyzed with Peirce’s triadic semiotic approach with a sign that has an icon, index, and symbol. Analysis a sign motif of batik is related to with an icon in the form of of cloth, and the index element in the form of color motifs of batik. Symbol is always related to with the naming of batik , such as Parang Barong, Sida Mukti, Mega Mendung and the Indonesian cultural background. The results of this research indicate that the batik has egalitarian value, functional value, economic value, and symbolic value. These four values are used by industry to improve the community through the creative industries and innovative creativity in the face of the global market. Through the imaging of batik will be formed social harmony for the global community. Tapitetap sarat nilai-nilai Islami. BERDIRINYA Masjid Agung Banten tidak lepas dari tradisi masa lalu, di mana dalam sebuah kota Islam terdapat minimal 4 komponen. Pertama, ada istana sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal raja-raja. Kedua, Masjid Agung sebagai pusat peribadatan. Ketiga, ada alun-alun sebagai pusat kegiatan dan informasi.

One of just a few 29 Welwyn Crescent, Coorparoo, is among Brisbane's coveted art deco homes. Photo SuppliedFrom the 1930s to 1950s, art deco houses and buildings sprang up all across Brisbane. After the trend emerged in Europe, Australian builders aimed to emulate a style that projected modernity and handful of art deco houses can still be found around Brisbane, if you know where to look. They range from small two-bedroom houses to colossal mansions, and buyers are generally enthusiastic and quick to lock down properties when they come on the bedrooms, 2 bathrooms, 2 car parksThe art deco-styled home in Welwyn Crescent sits on top of one of Coorparoo’s hills in Brisbane’s “Montrose on Welwyn”, the private estate is hidden behind rows of hedges, concealing the charming rendered white exterior, characteristic of art deco Bulimba agent Gemma Kunst said it was one of the most sought-after addresses in Coorparoo, with properties only changing hands every few years.“There’s sales that range from the mid to high $2 millions all the way to $ million.”It has been 10 years since 29 Welwyn Court was last on the bedrooms, 4 bathrooms, 3 car parksThis five-bedroom residence looks like a 1930s art deco build from the outside, but is a luxurious, modern home has a pool, bar, and water feature at the the most expensive property on this list, in Brisbane’s prestigious Ascot postcode, and is listed for $ For auction, June 174 bedrooms, 2 bathrooms, 2 car parksIn Stafford, a builder’s masterpiece is listed for auction next month. Bill Upton built the house for his family in 1954 and it includes some of the original furniture.Realty’s Ronny Cronqvist said Mr Upton was particularly pedantic and made sure the house was as close to perfect as possible.“There’s a story where Bill came to the building site and said the walls aren’t straight, and got them to do it again,” Mr Cronqvist said. “It’s got double cavity brick, which is a solid build.”He said there was a lot of interest in the property, due to the art deco bedrooms, 2 bathrooms, 1 car parkThe facade of 38 Emma Street – in Holland Park West – looks straight out of the the interior has been updated and makes for a perfectly modern was listed for auction, but has recently been placed under offer, so get in For auction June 174 bedrooms, 3 bathrooms, 2 car parksA charming art deco family home is up for sale in Hamilton, another of Brisbane’s premier suburbs. The home at 8 Grays Road has an aged exterior, but LJ Hooker Clayfield agent Stephen Hawke said the house was still a stunning example of the style.“The rendered exterior, the bay windows and a lovely big fireplace, wooden floorboards throughout,” he said. “There’s ornate cornices in the house, too; people notice those.”He said the river was visible from the deck, adding to the value of the house.

PEMBAHASANA. Percetakan Mushaf Percetakan al-Quran hingga seperti sekarang ini, dari masa sahabat hingga modern mengalami serangkaian penyempurnaan. Penyempurnaan tersebut bukanlah atas inisiatif seorang atau beberapa orang, akan tetapi hal itu merupakan ilham yang duturunkan rabb sekalian alam kepada orang-orang yang telah berjasa dalam penulisan serta menjaganya dari pengrusakan hingga Al
ArticlePDF Available AbstractOne of Dong Son Culture product is bronze vessels where found in some areas of Indonesia that is Kerinci, Madura, Lampung, Kalimantan dan Subang. Study about bronze vessels is limited on form and ornament description, and analysis. Ornamental study used structrulism approach on bronze vessels was not done. the purpose of this research is to know about bronze vessels structure and to give new meaning about it with Levi-Strauss structuralism approach. From the data and reference study was known that ornament on bronze vessels is an abstract of ideology/ way of life and ideas of their belonging community. These ideas formed a dualism, such as, about upper world-under world, men-women, feminin-masculin, stability and harmony of universe, fertility and strength. Salah satu produk budaya Dong Son adalah bejana perunggu yang ditemukan wilayah di Indonesia yaitu di Kerinci, Madura, Lampung, Kalimantan dan Subang. Kajian terhadap bejana perunggu tersebut terbatas kepada deskripsi bentuk dan pola hias, serta analisis bahan. Kajian motif hias melalui pendekatan strukturalisme pada bejana perunggu belum dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur yang terdapat pada bejana perunggu serta memberi pemaknaan baru terhadap bejana tersebut melalui pendekatan strukturalisme Levi-Strauss. Dari data yang ada dan studi kepustakaan diperoleh hasil bahwa motif-motif hias yang diterakan pada bejana perunggu merupakan wujud abstrak dari pandangan hidup, ide-ide dan gagasan masyarakat pendukungnya di masa lampau. Ide-ide dan gagasan itu adalah dualisme seperti dunia atas-dunia bawah, lelaki-perempuan, feminin-maskulin, keseimbangan, kekuatan, kesuburan dan harmoni semesta. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Menggali Makna Motif Hias Bejana Perunggu Nusantara;  51Pendekatan Strukturalisme Levi-Strauss Hafiful Hadi Sunliensyar Menggali Makna Motif Hias Bejana Perunggu Nusantara Pendekatan Strukturalisme Levi-Strauss Exploring The Meaning of Nusantara Bronze Vessels Ornament Levi-Strauss Structuralism Approach Hafiful Hadi Sunliensyar Mahasiswa Program Studi Pascasarjana Ilmu Arkeologi, FIB, Universitas Gadjah Mada hafifulhadi222 ABSTRACT One of Dong Son Culture product is bronze vessels where found in some areas of Indonesia that is Kerinci, Madura, Lampung, Kalimantan dan Subang. Study about bronze vessels is limited on form and ornament description, and analysis. Ornamental study used structrulism approach on bronze vessels was not done. the purpose of this research is to know about bronze vessels structure and to give new meaning about it with Levi-Strauss structuralism approach. From the data and reference study was known that ornament on bronze vessels is an abstract of ideology/ way of life and ideas of their belonging community. These ideas formed a dualism, such as, about upper world-under world, men-women, feminin-masculin, stability and harmony of universe, fertility and strength. Keywords Bronze Vessels, Structuralism, Meaning. ABSTRAK Salah satu produk budaya Dong Son adalah bejana perunggu yang ditemukan wilayah di Indonesia yaitu di Kerinci, Madura, Lampung, Kalimantan dan Subang. Kajian terhadap bejana perunggu tersebut terbatas kepada deskripsi bentuk dan pola hias, serta analisis bahan. Kajian motif hias melalui pendekatan strukturalisme pada bejana perunggu belum dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur yang terdapat pada bejana perunggu serta memberi pemaknaan baru terhadap bejana tersebut melalui pendekatan strukturalisme Levi-Strauss. Dari data yang ada dan studi kepustakaan diperoleh hasil bahwa motif-motif hias yang diterakan pada bejana perunggu merupakan wujud abstrak dari pandangan hidup, ide-ide dan gagasan masyarakat pendukungnya di masa lampau. Ide-ide dan gagasan itu adalah dualisme seperti dunia atas-dunia bawah, lelaki-perempuan, feminin-maskulin, keseimbangan, kekuatan, kesuburan dan harmoni semesta. Kata Kunci Bejana Perunggu, Strukturalisme, Makna. TanggalMasuk9Desember2016TanggalDiterima 6Februari2017 52 Berkala Arkeologi Edisi Mei 2017 51-68 PENDAHULUAN Perkembangan teknologi merupakan salah satu indikator kemajuan peradaban manusia masa lampau. Beralihnya teknologi batu menuju teknologi logam adalah hasil dari berkembangnya pengetahuan manusia dalam penggunaan teknologi api. Sejak saat itu manusia mulai memproduksi berbagai produk benda logam yang digunakan untuk keperluannya sehari-hari. Bukti arkeologi menunjukkan bahwa artefak logam tertua ditemukan di Turki yang diperkirakan berasal dari tahun millennium ke-6 SM Haryono, 2001 2. Sementara itu, di Asia Tenggara zaman logam diperkirakan di mulai pada tahun 2000 SM. Hal ini berdasarkan pada tinggalan-tinggalan produk budaya bendawi berupa artefak logam perunggu yang ditemukan di Thailand Haryono, 2001. Van-Heekeren 19581 mengemukakan bahwa di Indonesia tidak dikenal adanya zaman tembaga atau zaman perunggu karena temuan perunggu di Indonesia pada umumnya terdapat pada lapisan yang sama dengan temuan besi, karena itu dia menggunakan terminologi zaman perunggu-besi untuk menyatakan zaman logam di Indonesia. Heekeren juga berpendapat bahwa kebudayaan perunggu Indonesia berasal dari luar yaitu dari Dong Son, wilayah Vietnam Utara saat ini. Para ahli berbeda pendapat dalam hal kapan dimulainya zaman perunggu di wilayah Dong Son, namun H. Geldern menduga bahwa masa perunggu Dong Son di mulai sekitar abad ke-8 dan ke-7 SM Haryono, 2001 50. Berbagai bentuk budaya Dong Son telah diimpor ke Nusantara di masa perundagian, baik itu yang sifatnya bendawi maupun ilmu pengetahuan dalam teknik pembuatannya. Menurut Hoop 1932 masuknya logam di Indonesia diperkirakan pada tahun 500-300 SM. Di antara artefak logam temuan Indonesia yang menunjukkan ciri kentara pengaruh kebudayaan Dong Son adalah nekara perunggu, kapak perunggu, patung perunggu, dan bejana perunggu. Pada masa selanjutnya artefak perunggu sudah diproduksi secara lokal seperti contohnya nekara tipe pejeng ataupun moko yang ditemukan di Bali dan Nusa Tenggara Timur Bintarti, 2001. Bejana perunggu salah satu produk budaya bendawi masa perundagian, telah menjadi objek penelitian menarik dalam ilmu arkeologi. Penelitian yang berkembang hanya menyangkut aspek teknis untuk mengetahui bagaimana bejana dibuat pada masa silam atau lebih menekankan analisis bahan dengan pendekatan saintifik untuk melihat bagaimana persamaan komposisi bahannya dengan artefak perunggu lainnya yang dihubungkan dengan paradigma difusi. Sayangnya, dari sisi keartistikan dan estetika dengan berbagai motif indah pada permukaan bejana sedikit sekali peneliti yang berminat untuk mengkajinya. Padahal pola dan ragam hias yang ada pada bejana menunjukkan ciri khusus yang ada padanya. Van-Heekeren 1958 mencatat bahwa kajian-kajian terhadap bejana perunggu yang telah dilakukan pada saat itu hanya terbatas pada deskripsi bentuk, motif hias dan teknik pembuatannya saja. Analisis bahan hanya dilakukan pada satu objek bejana saja yaitu yang ditemukan di Asemjaran, Madura. Sementara itu, Sumardjo Menggali Makna Motif Hias Bejana Perunggu Nusantara;  53Pendekatan Strukturalisme Levi-Strauss Hafiful Hadi Sunliensyar 2002 pernah melakukan penafsiran terhadap makna pola hias bejana perunggu Kerinci secara hermeneutis-historis. Setelah itu, penulis belum menemukan referensi tentang kajian-kajian berikutnya dengan objek bejana perunggu tersebut. Ahimsa-Putra 1999a dalam artikelnya telah menawarkan cara baru dalam mengupas masalah-masalah arkeologi terutama arkeologi semiotik, yaitu melalui pendekatan strukturalisme Levi-Strauss. Lebih lanjut Tanudirjo 2016 mengemukakan bahwa analisis struktural mencoba menemukan prinsip-prinsip dasar pikiran manusia sebagaimana yang tertuang dalam unsur budaya dominan seperti pola perkampungan, pola hiasan, kekerabatan mitos dan lainnya. Oleh sebab itu melalui penalaran induktif dalam tulisan ini, penulis mencoba menggunakan cara analisis dengan pendekatan struktural Levi-Strauss pada objek bejana perunggu dengan tujuan untuk mengetahui makna dan struktur apa yang terdapat dalam motif hias bejana-bejana perunggu yang ditemukan di Indonesia. Strukturalisme Levi-Strauss dalam Arkeologi Semiotik Pendekatan struktural dalam arkeologi dapat didefinisikan sebagai penafsiran data arkeologi yang didasari oleh anggapan bahwa tindakan manusia dipadu oleh kepercayaan dan konsepsi simbolis yang sebenarnya berakar dari struktur pikiran manusia Tanudirjo, 2016. Dalam perspektif arkeologi terutama pasca-prosesual, budaya dianggap sebagai struktur simbol yang dianut bersama dan merupakan hasil akumulasi hasil pikir manusia. Analisis struktural yang dilakukan bertujuan untuk menemukan prinsip-prinsip dasar pikiran manusia yang tertuang dalam unsur-unsur budaya dominan seperti budaya bendawi Tanudirjo, 2016. Ada beberapa premis dalam strukturalis yang dikemukakan oleh Tanudirjo. Pertama, ada pola pikir manusia yang berulang-ulang dalam tindakan-tindakan yang akhirnya memberi ciri khas pada suatu budaya tertentu. Kedua, struktur pikiran dalam suatu lingkungan budaya tertentu secara terpadu melatarbelakangi berbagai aspek kehidupan manusia dalam. Ketiga, pola pikiran disatu aspek kehidupan akan tercermin dalam aspek kehidupan lain, misalnya pola hias pada bejana perunggu mencerminkan pola religi masyarakat pendukungnya. Dari serangkaian konsep-konsep yang dikemukakan oleh Levi-Strauss, dikatakan bahwa benda-benda arkeologis juga dapat dianalisis seperti yang dilakukan oleh ahli bahasa. Hal ini bila dilihat dari perspektif bahwa artefak-artefak atau materi kebudayaan bukan sekedar diciptakan untuk tujuan ekonomis semata, tetapi merupakan suatu sistem simbol dan sistem tanda. Melalui benda-benda tinggalan tersebut dapat diungkap ide-ide, pandangan mereka, yang semuanya merupakan pesan yang bersifat sosial ataupun individual Ahimsa-Putra, 1999b. Dari berbagai pandangan mengenai pendekatan dalam kajian semiotika, dapatlah ditarik sebuah kesimpulan bahwa analisis ataupun pendekatan strukturalisme Levi-Strauss sangat bisa diterapkan pada tinggalan-tinggalan budaya bendawi. Ahimsa-Putra 1999a;1999b mengemukakan alasan-alasan dan hal ihwal mengapa strukturalisme Levi-Strauss dipilih untuk diterapkan dalam bidang arkeologi. Pertama, 54 Berkala Arkeologi Edisi Mei 2017 51-68 kritik terhadap arkeologi prosesual yang positivistik dan mengabaikan kebermaknaan tinggalan arkeologi bagi si pembuat dan si pemiliknya di masa lampau. Kedua, kecendrungan analisis ke arah simbolis dan semiotis telah lama ada dalam kajian arkeologi di Indonesia, namun kajian-kajiannya tidak eksplisit kerangka teorinya dan tidak mampu menghasilkan konsep-konsep penajaman arkeologis yang penting. Ketiga, analisis struktural tidak membutuhkan dana yang begitu luar biasa besarnya dan juga tidak membutuhkan analisis material yang canggih dimana terbatas dana dan fasilitasnya di Indonesia. Menurut riwayatnya, Levi-Strauss pertama kali menerapkan analisis strukturalnya pada mitos dan karya sastra Yunani dan orang-orang Indian di Amerika Ahimsa-Putra, 2006. Hal ini diikuti pula oleh Ahimsa-Putra 2006 dengan menerapkan analisis strukturalisme Levi-Strauss pada mitos dan karya sastra yang ada di Indonesia. Pendekatan struktural dalam bidang arkeologi pertama kali dilakukan oleh Andrei Leroi-Gourham pada tahun 1960-an. Menurut Gourhan, gambar-gambar pada lukisan gua yang diteliti dibuat berdasarkan sebuah komposisi dimana gambar kuda dan bison merupakan 60% dari semua gambar yang ada di gua itu. Melihat dari penyataan itu bisa diperkirakan bahwa gambar-gambar tersebut tidak asal dibuat tapi memiliki sebuah struktur aturan yang mengindikasikan kesadaran consciousness dari masyarakat pembuatnya. Bisa disimpulkan bahwa sejak tahun sebelum masehi, manusia sudah memiliki kesadaran secara kognitif dimana faktor ini membedakan manusia dari binatang Renfrew dan Bahn, 2000 392-393. Ahimsa-Putra 1999b dalam artikelnya yang berjudul “Arca Ganesya dan Strukturalisme Levi-Strauss Sebuah Analisis Awal”, dimana di dalam artikel tersebut Ahimsa-Putra melakukan analisis awal menggunakan pendekatan strukturalisme Levi-Strauss terhadap hasil penelitian Edi Sedyawati mengenai ikonografi arca Ganesya pada masa Jawa kuna. Kajian Edi Sedyawati yang berada pada jalur sejarah seni dengan analisis kontekstual yang dilakukan sebelumnya, hanya mampu membuahkan hipotesis dan bukan rumusan fungsional antar fenomena yang lebih pasti Ahimsa-Putra, 1999b 66. Sementara itu, melalui analisis struktural yang dilakukan oleh Ahimsa-Putra telah membuka peluang baru untuk penelitian arca Ganesya lebih lanjut seperti kemungkinan penelitian yang memusatkan perhatian pada makna apa yang ingin disampaikan lewat berbagai kombinasi ciri-ciri khusus yang ada pada arca Ganesya ataupun arah penelitian baru berupa survei dan ekskavasi untuk menemukan arca Ganesya yang memperlihatkan kombinasi-kombinasi baru dari ciri-ciri khusus yang ada dengan asumsi bahwa arca Ganesya yang telah dianalisis belum menampilkan keseluruhan kombinasi ciri-ciri khusus Ahimsa-Putra, 1999b. Setidaknya analisis struktural Levi-Strauss yang dilakukan oleh Ahimsa-Putra terhadap penelitian arkeologi Edi Sedyawati itu menggambarkan keunggulan penerapan pendekatan ini di bidang arkeologi, yaitu kesempatan penelitian-penelitian dengan pendekatan dan asumsi baru menggunakan analisis struktural walaupun pada objek yang sudah diteliti sebelumnya, serta Menggali Makna Motif Hias Bejana Perunggu Nusantara;  55Pendekatan Strukturalisme Levi-Strauss Hafiful Hadi Sunliensyar analisis yang lebih mendalam pada tinggalan arkeologis. Di sisi lain, arkeolog dapat melihat sesuatu yang belum terlihat sebelumnya pada benda arkeologis melalui pendekatan struktural ini. Hal ini berarti potensi-potensi tinggalan arkeologis dapat meningkat melalui tafsiran dan pemaknaan baru sehingga memperkaya khazanah keilmuan di bidang arkeologi. METODE Data mengenai bejana perunggu nusantara diperoleh dari studi kepustakaan, terutama dari tulisan Heekeren 1958, katalog museum Barbier Mueller yang bisa diakses secara on-line dan katalog museum daerah Subang. Selain itu juga digunakan data etnografi untuk membantu interpretasi hasil analisis. Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis makna. Analisis makna ditujukan untuk menggali makna dari suatu artefak dan juga untuk mengungkapkan tata bahasa’ atau pesan-pesan yang ada dalam proses penciptaan benda-benda simbolis itu sendiri yang bersifat nirsadar Ahimsa-Putra, 1999b 61. HASIL PENELITIAN Deskripsi Bejana Perunggu Nusantara Sebuah pertanyaan yang masih menjadi perdebatan para arkeolog hingga kini adalah tentang asal usul kebudayaan perunggu di Indonesia. Worsae dalam Heekeren 1958 mengatakan bahwa tanah asalnya dari India Belakang. Sebaliknya Meyer dan Richer berpendapat bahwa kebudayaan perunggu di Indonesia, khususnya yang ada di Sulawesi, Flores dan Kalimantan berhubungan dengan Asia Tenggara Daratan Heekeren, 1958. Sedangkan H. Parmentier menyatakan bahwa berdasarkan perbandingan seni hias nekara ada kemiripan antara yang ditemukan di Vietnam dengan di Indonesia Haryono, 2001. Akan tetapi penelitian terhadap kebudayaan perunggu masa itu lebih terfokus kepada objek nekara. Karena nekara perunggu merupakan artefak penting di dalam kebudayaan perunggu di Asia Tenggara, khususnya Dong Son. Bintarti 2001 dalam penelitiannya, melakukan perbandingan antara nekara tipe pejeng yang ditemukan di Bali dengan nekara Heger I yang banyak ditemukan di Indonesia. Bintarti menyimpulkan bahwa nekara tipe pejeng adalah nekara yang diproduksi lokal. Hal ini diperkuat dengan temuan batu cetakan nekara tipe Pejeng di desa Manuaba, Bali Bellwood, 2000 407. Bagaimana dengan bejana perunggu yang ditemukan di Nusantara? Meskipun para ahli menyebut budaya perunggu nusantara berasal dari Dong Son, sampai saat ini belum ada temuan arkeologis yang meyakinkan untuk membuktikan bahwa bejana perunggu yang ditemukan di Nusantara juga diimpor dari wilayah Dongson atau diproduksi secara lokal. Namun demikian, Bosch menyebutkan bahwa motif hias pada bejana perunggu Kerinci merupakan perkembangan motif hias secara lokal karena pengaruh Hindu. Sementara motif hias bejana perunggu Madura lebih memiliki gaya Dongsonian karena kesamaan motif hiasnya dengan bejana yang ditemukan di Kamboja Heekeren 1958 34-36. 56 Berkala Arkeologi Edisi Mei 2017 51-68 Bejana perunggu nusantara memiliki kesamaan dalam bentuknya yaitu mirip kepis atau wadah ikan, sebagian menyebutnya berbentuk seperti gitar arab Oud-gambus. Bejana ini dibentuk dari dua potongan sisi cembung yang sama kemudian dipadukan bersama secara sempurna. Bejana perunggu dibagi atas tiga bagian yaitu mulut bejana, leher bejana dan badan bejana. Perbedaan hanya terdapat pada ukuran dan motif hias yang diterakan dipermukaannya. Bejana Perunggu Kerinci Bejana perunggu Nusantara pertama kali ditemukan pada tahun 1922 di Mendapo Lolo, Kerinci Heekeren, 1958 34. Mendapo Lolo adalah wilayah setingkat district pada masa pemerintahan kolonial Belanda yang saat itu berada dalam afdelling Kerinci-Painan, Sumatera Westkust Yakin, 1986. Saat ini, wilayah Mendapo Lolo terbagi atas beberapa desa yaitu Desa Lolo Gedang, desa Lolo Kecil, desa Pasar Kerman dan desa Talang Kemuning yang berada dalam Kecamatan Gunung Raya, Kabupaten Kerinci, Jambi. Bejana perunggu Kerinci sekarang tersimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor inventaris MNI 1443. Bejana perunggu Kerinci lihat gambar berasal dari periode paleometalik, memiliki ukuran panjang 50, 8 dan lebar 37 cm Heekeren, 1958 34. Sedikit bagian mulut dan lehernya sudah rusak, tetapi sudah direkonstruksi bentuknya dalam gambar. Seluruh permukaan bejana terdapat motif hias yang sama di kedua sisinya. Pada bagian mulut bejana sekat pertama terdapat motif hias berbentuk segitiga. Sekat kedua pada bagian leher bejana dihiasi oleh motif berbentuk huruf kapital J’. Sekat ketiga di antara leher dan mulut bejana dihiasi motif persegi panjang dengan garis bergerigi. Sementara itu, sekat ke empat pada bagian badan bejana dihiasi motif berbentuk huruf kapital J’, motif spiral, motif mata kapak, motif persegi dan motif segitiga. Motif persegi terdiri atas dua bagian dimana bagian luar persegi berbentuk garis rata sementara bagian dalam persegi tersebut dibentuk dengan garis bergerigi. Bejana Perunggu Madura Sekitar tiga puluh tahun kemudian bejana perunggu Indonesia kedua ditemukan di Asemjaran, Sampang, Madura tepatnya di tahun 1951 Heekeren, 1958 35. Bejana ini kemudian disimpan di Museum Nasional. Kondisi bejana perunggu Madura rusak parah di salah satu sisinya. Panjang bejana ini 90 cm yang dihitung dari tangkai bagian dasarnya dan lebarnya adalah 54 cm lihat gambar Permukaan logam dipenuhi motif hias. Pada bagian mulut bejana atau sekat pertama terdapat motif segitiga dan motif burung merak, pada bagian sekat kedua di leher bejana dihiasi motif huruf kapital J dan motif anyaman, pada sekat ketiga antara leher dan badan bejana dihiasi oleh motif segitiga dan motif rusa. Pada sekat keempat atau badan bejana dihiasi oleh motif persegi, motif spiral, dan motif huruf kapital J. Bejana Perunggu Kalimantan Salah satu koleksi dari Musée Barbier Mueller, Jenewa, Swiss adalah sebuah bejana perunggu yang ditemukan di Kalimantan. Bejana ini diperkirakan berasal dari abad I-III M. Panjang bejana ini adalah 74 cm dan Menggali Makna Motif Hias Bejana Perunggu Nusantara;  57Pendekatan Strukturalisme Levi-Strauss Hafiful Hadi Sunliensyar lebarnya cm Musée Barbier Mueller Catalog, diakses 25 November 2016. Pada bagian mulut bejana atau sekat pertama terdapat motif segitiga dan motif burung merak, pada bagian sekat kedua di leher bejana dihiasi motif huruf kapital J dan motif anyaman, pada sekat ketiga antara leher dan badan bejana dihiasi oleh motif segitiga dan motif rusa. Pada sekat keempat atau badan bejana dihiasi oleh motif persegi, motif spiral, dan motif huruf kapital J lihat gambar 1. C. Bejana Perunggu Subang Pada tahun 2006 dilaporkan adanya temuan bejana perunggu di Kampung Tangkil, Subang, Jawa Barat. Bejana ini kemudian disimpan di Museum Daerah Subang. Bejana Subang mempunyai ukuran yang lebih besar dari bejana perunggu yang lainnya. Panjang bejana ini 90 cm dan lebar 60 cm. Secara umum mempunyai pola hias yang sama dengan bejana perunggu Kalimantan dan Madura. Pada bagian mulut bejana atau sekat pertama terdapat motif segitiga dan motif burung merak, pada bagian sekat kedua di leher bejana dihiasi motif berbentuk huruf kapital J dan motif anyaman, pada sekat ketiga antara leher dan badan bejana dihiasi oleh motif segitiga dan motif rusa. Pada sekat keempat atau badan bejana dihiasi oleh motif persegi, motif spiral, dan motif huruf kapital J gambar Selain dari keempat wilayah ini, bejana perunggu juga ditemukan di Labuhan Meringgai, Lampung. Oleh karena minimnya data yang tersedia terkait bejana perunggu tersebut, bejana ini tidak dimasukkan ke dalam data penelitian. Namun apabila dilihat dari kecenderungan motif-motif hias yang ada pada keempat bejana perunggu yang menjadi objek penelitian ini. Paling tidak motif hias pada bejana perunggu Lampung akan mengikuti pola hias bejana perunggu Kerinci atau motif hias yang terdapat pada bejana Madura, Subang dan Kalimantan. Heekeren 1958 96-98 menyebutkan bahwa motif-motif hias pada artefak logam dari kebudayaan Dong Son seperti pola hias pada bejana perunggu menunjukkan ciri persamaan yang sangat besar dengan tinggalan zaman perunggu di Eropa dan kebudayaan Cina, di antara motif hias tersebut adalah 1 motif hias spiral, memiliki karakteristik dekorasi zaman besi di Kaukasus dan zaman perunggu di Eropa. Motif ini juga muncul di zaman neolitik kebudayaan Danubian, Ukraina dan ditemukan pula pada periode akhir Chou di Cina; dan 2 motif segitiga, memiliki gaya geometrik asli dari Yunani dan kebudayaan Hallstatt. DISKUSI DAN PEMBAHASAN Analisis Ragam motif hias di permukaan keempat bejana ini merupakan salah satu ciri khusus yang dimiliki bejana perunggu selain dari variasi ukurannya. Ciri khusus ini merupakan ciri yang memperkuat penandaan atas bejana perunggu, dimana keberadaannya bervariasi antar bejana. Ciri khusus bejana perunggu ini meliputi sejumlah motif hias yaitu 1 motif hias berbentuk huruf kapital “J” ; 2 motif hias spiral bentuk huruf kapital S; 3 motif hias segitiga atau tumpal; 4 motif hias burung merak; 5 motif hias rusa; 6 motif hias kapak; 7 motif hias persegi. Tujuh motif ini dijadikan sebagai unit atau satuan analisis terkecil dalam penelitian ini. 58 Berkala Arkeologi Edisi Mei 2017 51-68 Gambar1.A.BejanaPerungguKerinci,sumber 1. Motif-motif yang terdapat pada masing-masing sekat pada bejana perunggu nusantara Nama Bejana Ruang Bejana Kerinci Bejana Madura Bejana Kalimantan Bejana Subang Sekat I Motif segitiga Motif segitiga dan motif merak Motif segitiga dan motif merak Motif segitiga dan motif merak Sekat II Motif huruf J Motif huruf J Motif huruf J Motif huruf J ABCDSekat I Sekat II Sekat III Sekat IV Menggali Makna Motif Hias Bejana Perunggu Nusantara;  59Pendekatan Strukturalisme Levi-Strauss Hafiful Hadi Sunliensyar Sekat III Motif segitiga Motif segitiga dan motif rusa Motif segitiga dan motif rusa Motif segitiga dan motif rusa Sekat IV Motif huruf J, motif huruf S, motif persegi, dan motif kapak. Motif huruf J, motif huruf S dan motif persegi Motif huruf J, motif huruf S dan motif persegi Motif huruf J, motif huruf S dan motif persegi Langkah selanjutnya dalam analisis secara struktural adalah dengan menyusun rantai sintagmatis dan membandingkan secara paradigmatis Ahimsa-Putra, 199910. Dalam hal ini susunan sintagmatisnya terdiri dari ketujuh motif hias bejana sedangkan secara paradigmatik dilakukan dengan membandingkan motif hias pada bejana perunggu temuan di suatu tempat dengan tempat lain di Nusantara lihat tabel 2. Tabel 2 memberikan informasi bahwa 1 motif hias burung merak dan motif rusa tidak terdapat pada bejana perunggu Kerinci. tetapi terdapat motif kapak; 2 motif segitiga, motif huruf kapital J, motif persegi dan motif spiral terdapat pada semua bejana perunggu yang ditemukan. Dari data yang tersaji pada tabel 2 dapat disimpulkan bahwa motif burung merak, motif rusa dan motif kapak merupakan ciri pembeda dari keempat bejana perunggu yang ditemukan di Nusantara. Dengan menyusun kombinasi-kombinasi ciri pembeda tersebut, maka akan didapatkan hasil seperti yang terdapat dalam tabel 3. Tabel 2. Motif-motif hias yang terdapat pada bejana perunggu nusantara Bejana Kerinci Tidak ada Tidak ada Motif hias kapak Motif Segitiga Motif Huruf J Motif persegi Motif Spiral Bejana Madura Motif hias Burung Merak Motif rusa Tidak ada Motif Segitiga Motif Huruf J Motif persegi Motif spiral Bejana Kalimantan Motif hias Burung Merak Motif rusa Tidak ada Motif Segitiga Motif Huruf J Motif persegi Motif spiral Bejana Subang Motif hias Burung Merak Motif rusa Tidak ada Motif Segitiga Motif huruf J Motif persegi Motif spiral 60 Berkala Arkeologi Edisi Mei 2017 51-68 Tabel 3. Kombinasi-kombinasi motif hias keseluruhan baik yang ditemukan maupun yang tidak ditemukan Kombinasi Motif Keterangan 1. motif burung merak - motif rusa - motif kapak 2. motif burung merak - motif rusa - ………………………. 3. motif burung merak - ………………… - motif kapak 4. motif burung merak - ………………… - ……………………….. 5. ……………………… - motif rusa - motif kapak 6.………………………. - motif rusa - ……………………….. 7. …………………........ - ………………… - motif kapak Tidak ditemukan Ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak temukan Ditemukan Tabel 3 menunjukkan bahwa hingga saat ini hanya ditemukan dua jenis kombinasi motif hias pada bejana perunggu yaitu pertama, kombinasi motif hias burung merak dan motif hias rusa. Kombinasi motif ini terdapat pada bejana perunggu Madura, Subang dan Kalimantan. Motif merak dan rusa juga terdapat pada nekara Heger I dari pulau Selayar dan dari pulau Sangeang, Sumbawa Bintarti, 2001. Keberadaan kedua motif ini memperkuat indikasi bahwa bejana perunggu dengan kombinasi motif ini dipengaruhi gaya Dongsonian. Kedua, motif kapak yang tidak dikombinasikan dengan motif hewan. Kombinasi seperti ini hanya terdapat pada bejana perunggu Kerinci. Interpretasi yang dilakukan selanjutnya adalah untuk mengungkapkan makna-makna yang diperoleh dari hasil analisis yaitu mengapa motif huruf J, motif tumpal, motif persegi, motif spiral terdapat pada semua bejana perunggu? Dan mengapa motif kapak tidak dikombinasikan dengan motif hewan? Interpretasi makna yang bertujuan untuk menjawab permasalahan ini sangat dibantu oleh berbagai data etnografi baik dari kebudayaan Nusantara maupun dari kebudayaan India dan kebudayaan Eropa. Penggunaan data dari kebudayaan lain terkait dengan pendapat Bosch yang menyatakan bahwa motif bejana perunggu berkembang dalam bentuk lokal dan dipengaruhi oleh budaya Hindu India dan pendapat Geldern yang menyatakan bahwa kebudayaan Dongson dipengaruhi oleh kebudayaan Eropa Kaukasian Heekeren, 1958. Interpretasi Makna Motif Tumbuhan Motif atau pola hias segitiga tumpal, bentuk huruf kapital J’ dan motif spiral pada dasarnya tidak hanya ditemukan pada pada bejana perunggu saja tetapi terdapat pula pada produk-produk bendawi lainnya yang dihasilkan oleh berbagai etnik di Nusantara seperti pada ukiran kayu dan motif kain tradisional. Suku Kerinci yang mendiami Dataran Tinggi Jambi menyebut motif segitiga tumpal dengan sebutan motif pucuk rebung gambar 1 dan motif huruf J’ disebut dengan motif keluk paku gambar 2. Motif ini diambil dari dua jenis tumbuhan yaitu tumbuhan paku-pakuan dan tumbuhan bambu. Seperti yang diketahui bahwa tumbuhan paku memiliki ciri khas dengan daun yang masih muda menggulung. Pola-pola relung daun paku muda inilah yang Menggali Makna Motif Hias Bejana Perunggu Nusantara;  61Pendekatan Strukturalisme Levi-Strauss Hafiful Hadi Sunliensyar dinamakan sebagai motif keluk paku oleh orang Kerinci. Sementara itu, tunas bambu muda akan terlihat berpola seperti segitiga. Motif berbentuk pola-pola segitiga tumpal dikatakan sebagai motif pucuk rebung. Baik bambu maupun pakis keduanya adalah dua jenis tanaman yang banyak dijumpai di daerah Kerinci. Begitu pula dengan wilayah lainnya di Indonesia yang beriklim tropis basah. Tanaman pakis dimanfaatkan sebagai bahan makanan oleh beberapa suku di Indonesia sama halnya dengan rebung, akan tetapi tanaman bambu lebih banyak dimanfaatkan dalam berbagai hal. Tanaman paku-pakuan merupakan tanaman yang berkembang biak sangat cepat terutama pada iklim tropis basah. Tanaman paku muda tumbuh melalui spora yang tersebar dari tanaman induknya. Hal ini menjadikan tanaman paku memiliki nilai filosofis tersendiri bagi orang Kerinci. Istilah adat mereka menyebutkan istilah patah tumbauh ila bagentoi patah tumbuh hilang berganti dan mati so tumbu saribu mati satu akan tumbuh seribu, kedua kalimat adat diterjemahkan bahwa segala sesuatu yang sudah mati tidak akan lenyap begitu saja tetapi akan terus meregenerasi menjadi ratusan bahkan ribuan pengganti yang lebih baik. Cara perkembangbiakan tanaman paku merupakan analogi yang tepat terhadap filosofi yang mereka anut. Secara singkat, motif keluk paku menjadi lambang bagi kesuburan. Oleh karena tunas paku menjadi lambang kesuburan bagi suku Kerinci, motif ini juga terdapat pada ukiran-ukiran kayu di rumah dan lumbung padi mereka. Bahkan dijadikan bentuk nisan seperti yang dijumpai pada situs-situs megalitik di Sumatera Barat Gambar 2. Dalam kebudayaan lain kesuburan kerapkali dihubungkan dengan perempuan feminin. Di Jawa misalnya kesuburan dilambangkan dengan seorang dewi yaitu Dewi Sri. Berbeda dengan tanaman paku-pakuan, tanaman bambu dapat hidup di berbagai kondisi iklim. Beberapa jenis bambu yang tunas mudanya dapat dijadikan bahan makanan, tumbuh dengan baik di Indonesia yang beriklim tropis basah. Bambu dimanfaatkan oleh banyak etnik di Indonesia, digunakan sebagai bahan bangunan rumah tradisional, alat angkut, bahan seni seperti alat musik tiup dan alat musik pukul. Gambar2.AmotifsegitigatumpalpadaBejanaKerinci,sumbermedia‐ 62 Berkala Arkeologi Edisi Mei 2017 51-68 Gambar3.AmotifhurufJpadabejanaperunggu,sumberHeekeren,1958denganperbaikan,Bbentukmenhirmempunyaikesamaanpolahiasdenganbejanaperunggu,SumberDisporaparbudKerinci,CTunaspakumudasebagaiinspirasilahirnyamotifkelukpakuSuku Kerinci memanfaatkan potongan bambu sebagai atap rumah. Bambu yang dipecah disebut pelupuh digunakan sebagai dinding dan lantai rumah Schefold, 2008. P. Voorhoeve 1970 mengatakan bahwa surat Incung1 orang Kerinci yang berisi ratapan-ratapan ditulis pada media tabung bambu karena bambu dinilai mempunyai daya magis. Penggunaan bambu untuk berbagai keperluan, tidak lain karena kelenturan dan kekuataan yang terdapat pada batangnya. Simbol kekuatan diwujudkan dalam bentuk pola hias pucuk rebung. Di sisi lain, kekuatan seringpula dikaitkan sifat kejantanan atau maskulin, misalnya dalam mitologi Yunani terdapat kisah Hercules seorang lelaki yang mempunyai kekuatan sangat besar. Hercules sendiri adalah anak Dewa Zeus dengan seorang wanita di bumi. Motif spiral bentuk huruf S’ merupakan bentuk stilisasi dari motif J’ dimana relung pakunya berada pada dua sisi yang berbeda dengan arah hadap berlawanan. Motif spiral dalam masyarakat Kerinci disebut sebagai motif pilin Rassuh, 2008. 1SuratIncungadalahaksaraasliyangdigunakanolehSukuKerinciMelihat bahwa dalam motif ini, pola relung paku berada pada sisi berbeda dan arah hadap berlawanan tetapi disatukan dalam batangan lurus, kemungkinan merupakan simbol dari penyatuan oposisi-oposisi yang ada di alam semesta. Sumardjo 2002 121 menyebutkan bahwa motif huruf S spiral sebagai lambang dari perpaduan antara lelaki sifat maskulin dan perempuan sifat feminin sehingga mewujudkan sebuah harmoni atau keselarasan semesta. Motif Persegi Hal yang paling menonjol dalam motif persegi ini adalah munculnya pola bilangan empat seperti empat buah sisi dan empat buah sudut yang menjadi pembentuk pola persegi. Bilangan empat ini banyak muncul dalam aspek sosial-budaya berbagai etnik di Nusantara. Suku Kerinci dalam tatanan adat mereka mengenal istilah kato nan mpat, negeri nan mpat, undang-undang nan mpat, adat nan mpat, lembago nan mpat, dan parbokalo bungkan yang barempat Yakin, 1986; Zakaria 1984. Istilah parbakalo bungkan yang barempat misalnya merujuk kepada empat orang yang ABC Menggali Makna Motif Hias Bejana Perunggu Nusantara;  63Pendekatan Strukturalisme Levi-Strauss Hafiful Hadi Sunliensyar dipilih sebagai dewan pertimbangan dalam pemerintahan adat Kerinci, ke empat orang ini ditempatkan dalam empat sisi permukiman sebagai lambang keseimbangan. Tidak hanya di Sumatera, di Jawa misalnya terdapat konsep moncopat yang diartikan sebagai sebuah konsep yang menunjukkan pada empat desa lain terdekat dan terletak di keempat mata angin desa tersebut Van-Ossenbruggen dalam Ahimsa-Putra, 1999a 6. Sementara itu, Frutiger 1989 43 berpendapat bahwa pola persegi sebagai simbol sebuah denah permukiman yang dihuni, simbol permukaan bumi dan empat arah mata angin yang merupakan bagian dari perwujudan alam semesta. Dari dua pandangan di atas dapat dikatakan bahwa pola persegi dimaknai sebagai simbol keseimbangan alam semesta. Motif Hewan Motif burung sebenarnya telah menjadi motif khas budaya Dong Son. Hampir semua nekara perunggu bertipe Heger memiliki motif hias burung yang diterakan pada bidang pukulnya Heekeren, 1958 Bintarti, 2001. Motif burung juga terdapat pada sekat pertama bejana perunggu Subang, Kalimantan dan Madura, dimana burung yang menjadi motif hiasnya adalah burung merak gambar 4. Menurut Sumardjo 2002 9 burung dalam pandangan masyarakat prasejarah merupakan simbol dari dunia atas atau dunia rohani. Dunia yang menjadi persemayaman para roh atau para dewa. Senada dengan itu, Munandar 2012 berpendapat bahwa dalam masyarakat prasejarah, burung merak dianggap dekat dengan kekuatan adikodrati, keberadaan mereka di sekeliling permukiman dianggap sebagai perwujudan roh leluhur yang melindungi desa. Sementara itu dalam kebudayaan India dan kebudayaan Cina. Burung merak dianggap sebagai lambang keabadian dan simbol dari kekuasaan. Misalnya di India, merak merupakan kendaraan dewa keabadian yaitu Kartikeya atau Skanda, sementara itu di Cina, bulu merak dijadikan hiasan singgasana raja Munandar, 2012. Motif hewan lain yang terdapat pada tiga bejana perunggu Nusantara adalah motif rusa gambar 4. Motif ini terdapat pada sekat ketiga bejana. Dalam mitologi Yunani, rusa dihubungkan dengan Dewi Artemis yaitu dewi bulan dan perburuan. Sementara itu dalam kebudayaan Turki masa prasejarah di Azerbaijan, memaknai rusa berhubungan dengan dewi kesuburan, dewi bumi dan dewi penguasa hewan Rzayeva, 2009. Berggren 2004 156 menjelaskan bahwa lengkungan tanduk pada beberapa hewan sangat mirip dengan kenampakan bulan sabit, oleh sebab itu rusa dan kambing ibex sering dijadikan sebagai simbol dewi bulan pada kebudayaan masa prasejarah di Timur Tengah dan Asia Tengah. Dapat dikatakan bahwa kedua motif hewan pada bejana perunggu merupakan perwujudan dunia atas dalam berbagai pandangan kebudayaan. Akan tetapi mengapa motif hias ini diterakan bersama? Besar kemungkinan untuk memunculkan unsur dualisme di dalamnya yaitu lelaki sifat maskulin dan wanita sifat feminin. Bila dilihat dari motif hias burung merak pada bejana perunggu akan terlihat bahwa burung merak yang digambarkan adalah burung merak betina ditandai dengan ekor yang lebih pendek sebagai wujud dari 64 Berkala Arkeologi Edisi Mei 2017 51-68 feminin. Sementara itu, rusa dengan tanduk yang besar dan bercabang merupakan ciri dari rusa jantan yang mewakili sifat maskulin. Motif Kapak Dalam kajian prasejarah dikatakan bahwa kapak merupakan produk budaya paling awal yang dibuat manusia. Pembuatan kapak dalam bentuk alat serpih dengan permukaan kasar sudah di mulai zaman paleolitikum Belwood, 2000. Evolusi bentuk kapak batu mencapai puncaknya pada zaman neolitik Bellwood, 2000. Sejak munculnya pengetahuan penggunaan api sebagai sebuah teknologi baru bagi manusia, kapak tidak hanya dibuat dari batu, tetapi sudah diproduksi dengan menggunakan bahan logam terutama dari perunggu. Soejono membagi bentuk kapak perunggu menjadi 8 tipe pokok, antara lain tipe umum, tipe ekor burung seriti, tipe pahat, tipe tembilang atau tajak, tipe bulan sabit, tipe jantung, tipe candrasa, dan tipe kapak roti. Kapak perunggu di Indonesia tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, terutama di wilayah Sumatra Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Pulau Selayar, Flores, Maluku, Pulau Roti, dan Irian dekat Danau Sentani Poesponegoro dan Notosusanto, 2008 234. Bentuk kapak yang dijadikan motif bejana perunggu Kerinci merupakan kapak perunggu tipe bejana gambar 5. Kapak ini memiliki bentuk yang lebar dengan penampangnya yang lonjong. Garis pangkal tangkainya ada yang cekung dan ada juga yang lurus. Umumnya bagian tajaman terlihat sangat cembung Poesponegoro dan Notosusanto, 2008. Kapak perunggu dengan tipe bejana biasanya digunakan sebagai kapak untuk ritual atau sebagai bekal kubur pada kebudayaan megalitik. Menurut Sumardjo 2002 109 alat-alat upacara ritual pada masa prasejarah seperti nekara dan kapak perunggu merupakan medium perantara atau pilar kosmis yang menjadi penghubung dunia atas ruh dengan dunia manusia. Melalui medium perantara tersebut daya-daya gaib dari dunia atas hadir di dalam dunia manusia. Gambar4.MotifrusadanMotifburungMerakpadabejanaperunggu,SumberHeekeren,1958,edit.HafifulHadi Menggali Makna Motif Hias Bejana Perunggu Nusantara;  65Pendekatan Strukturalisme Levi-Strauss Hafiful Hadi Sunliensyar Gambar5.AMotifmatakapakpadabejanaperunggukerinci,Sumbermedia‐ Keberadaan motif tumbuhan motif huruf J, motif spiral, motif tumpal dan motif persegi pada seluruh bejana nusantara menunjukkan bahwa ada pesan atau makna umum yang ingin disampaikan komunitas pemiliknya atau pembuatnya di masa lampau. Makna-makna tersebut adalah mengenai dualisme yaitu laki-laki sifat maskulin dan wanita sifat feminin, kekuatan yang muncul dari sifat maskulin serta kesuburan yang diidentikkan dengan wanita sifat feminine. Dualisme tersebut disimbolkan dengan berbagai bentuk motif yang terinspirasi dari keadaan lingkungan si pemilik atau si pembuatnya di masa lalu seperti tanaman yang tumbuh di sekitarnya. Motif segitiga yang menjadi simbol laki-laki, sifat maskulin, dan kekuatan terinspirasi dari bentuk rebung bambu. Sementara simbol wanita, sifat feminim dan kesuburan terinspirasi dari tunas pakis. Pesan atau makna umum lain yang disampaikan adalah mengenai harmoni keselarasan dan keseimbangan semesta. Tidak dikombinasikannya motif mata kapak dengan motif hewan adalah hal yang sangat menarik. Hal ini menunjukkan adanya makna khusus yang bisa jadi mengarah kepada perbedaan fungsi dua bejana bagi si pemilik atau si pembuatnya di masa lalu. Bejana perunggu Kerinci tidak menampilkan motif hewan tetapi menonjolkan motif kapak perunggu. Kapak perunggu yang difungsikan sebagai benda ritual adalah simbol dari penghubung dunia atas dan dunia manusia, keberadaannya pada bejana perunggu dalam bentuk motif memperkuat dugaan bahwa bejana perunggu benar-benar difungsikan sebagai alat ritual atau alat upacara tertentu di masa lalu. Sementara itu, pada tiga bejana perunggu lainnya lebih menonjolkan motif hewan yang menjadi simbol dunia atas. Kemungkinan bejana perunggu dengan motif seperti ini lebih dijadikan sebagai lambang status sosial dari pemiliknya di masa lalu. Pemilik bejana perunggu dengan motif burung merak dan rusa barangkali merupakan para penguasa lokal, karena merak dan rusa yang dekat dengan dunia atas merupakan simbol keabadian untuk mengekalkan status dan kedudukan sosial si pemilik. 66 Berkala Arkeologi Edisi Mei 2017 51-68 SARAN DAN REKOMENDASI Analisis yang dilakukan pada pola hias bejana perunggu ini hanya melihat adanya perbedaan pola-pola hias yang terdapat pada keempat bejana. Tentu saja makna yang diperoleh belum utuh dan tidak sempurna. Diharapkan pada penelitian selanjutnya analisis makna juga memperhatikan jumlah masing-masing pola hias dan penampilan jenis pola hias pada masing-masing sekat bejana. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra dan Dr. Daud Aris Tanudirjo atas bimbingan yang telah diberikan. Menggali Makna Motif Hias Bejana Perunggu Nusantara;  67Pendekatan Strukturalisme Levi-Strauss Hafiful Hadi Sunliensyar DAFTAR PUSTAKA Ahimsa-Putra, 2006, Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra, Yogyakarta, Kepel Press -, 1999a. “Strukturalisme Levi-Strauss untuk Arkeologi Semiotik”, Jurnal Humaniora Vol XI No. Mei-Agustus hlm. 9-14 -,1999b, “Arca Ganesya dan Strukturalisme Levi-Strauss Sebuah Analisis Awal”, dalam Cerlang Budaya gelar karya untuk Edi Sedyawati, Pusat Lembaga Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Universitas Indonesia, hlm. 53-82 Bellwood, Peter, 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia Edisi Revisi, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama Bintarti, 2001. “Nekara Tipe PejengKajian Banding terhadap Nekara Tipe Heger I”. Disertasi. Universitas Gadjah Mada Breggren, Kristina. 2004. “When the rest of the world thought male ibex, why did the people of San Giovenale think female sheep?” PECUS. Man and animal in antiquity. Proceedings of the conference at the Swedish Institute in Rome, September 9-12, 2002. Ed. Barbro Santillo Frizell, The Swedish Institute in Rome. Projects and Seminars, Rome Frutiger, Adrian, 1989. Signs and Symbols Their Design and Meaning. New York, Van Nostrand ReinHold Haryono, Timbul, 2001. Logam dan Peradaban Manusia. Yogyakarta, Phylosophy Press Heekeren, H. R. Van, Bronze-Iron Age of Indonesia. Land en Volkenkunde, Van Het Koninklijk Instituut Voor Taal, S-Gravenhage, Martinus Nijhoff Hoop, Van,1932. Megalithic Remain in South Sumatra. Zutphen Thieme Munandar, Agus Aris, 2012, “Kebudayaan Austronesia sebagai Akar Peradaban Nusantara Ornamen pada Nekara dan Artefak Perunggu Lainnya”. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Internasional Indonesian Studies Update Seminar Series, “Mengurai Kembali Peradaban Manusia Rethinking Human Civilization”, FIB UI, Depok, 28—29 November Rasuh, Ja’afar dkk. 2008. Ragam Hias Daerah Jambi. Dinas Kebudayaan dan Parawisata Jambi. Jambi 68 Berkala Arkeologi Edisi Mei 2017 51-68 Renfrew, C and Bahn, P. 2000. Archaeology Theories, Methods, and Practices. Third Edition, London, Thames and Hudson, hlm. 49-59. Ryazeva, Saltanat, 2009, The Symbol of Deer in the Ancient and Early Medieval Cultures of Azerbaijan. Peregrinations, International Society For Study of Pilgrimage Art Schefold, Reimar and Peter JM Nas. 2008. Indonesian Houses Vol. I Survey of Vernacular Architecture in Western Indonesia. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, KITLV Press Soemardjo, Jacob. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia Pelacakan Hermeneutis-Historis terhadap Artefak-artefak Kebudayaan. Yogyakarta, CV. Qalam Yogyakarta Tanudrijo, Daud Aris. 2016. “Pendekatan Struktural dalam Arkeologi”. Powerpoint Slides. Dipresentasikan Tanggal 18 September 2016 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Poesponegoro, Mawarti Djoened dan Notosusanto, Nugroho, 2008. Sejarah Nasional Indonesia I Edisi Pemutakhiran Editor. Soejono dan Leirissa. Jakarta, Balai Pustaka Voorhoeve, Petrus. 1970. Kerintji Documents. Bijdragen tot de Taal-Land en Volkenkunde’. 126 369-399 Yakin, A. Rasyid, 1986. Menggali Adat Lama Pusaka Usang di Sakti Alam Kerinci, Sungai Penuh, Percetakan Anda Zakaria, Iskandar, 1984. Tambo Sakti Alam Kerinci. Jakarta, Depdikbud , diakses tanggal 25 November 2016 ... Benda-benda tersebut, sekarang digolongkan sebagai pusaka adat Masyarakat Kerinci. Penggunaan dan penyimpanan perkakas perunggu tersebut diperkirakan berkaitan dengan kebudayaan yang berasal dari Dongson, Vietnam Suliensyar, 2017;Sunliensyar, 2016. ...Nainunis Aulia IzzaNugrahadi MahananiAri Mukti Wardoyo AdiDataran Tinggi Jambi dalam perspektif arkeologi memiliki kedudukan penting. Jejak peradaban periode neolitik hingga masuknya Islam ditemukan di berbagai sudut wilayah Bukit Barisan. Masyarakat yang terbentuk saat ini diduga kuat merupakan kelanjutan dari komunitas yang telah ada ribuan tahun. Bukti tersebut tampak dari adanya berbagai pusaka adat Masyarakat Kerinci berupa benda-benda perunggu dari kebudayaan Dong-Son. Secara etnografi, masyarakat yang tinggal di dataran tinggi Jambi, seperti Kerinci dan Merangin juga dianggap memiliki kebudayaan yang khas serta unik. Salah satu keunikan tersebut dapat dilihat dari adanya tradisi pemilikan keramik. Tradisi pemilikan keramik kuno oleh masyarakat tersebut disinyalir memiliki hubungan erat dengan tradisi pemanfaatan benda-benda kuno sebagai pusaka adat. Fungsi, peranan, serta asal usul keramik yang dimiliki masyarakat tersebut tentunya perlu dikaji lebih mendalam untuk menguatkan asumsi dasar ini. Oleh karena itu, penelitian yang akan dilakukan ini berupaya untuk mengungkapkan aspek-aspek tersebut. Penelitian mengenai ini akan dilakukan dengan pendekatan etnoarkeologi. Metode yang akan digunakan adalah observasi dan wawancara terbuka. Hasil penelitian menunjukkan keramik yang dikoleksi mayoritas berasal dari Eropa, khususnya Belanda dan beberapa lainnya berasal dari China. Keramik di Dataran Tinggi Jambi merupakan salah satu objek yang diwariskan dan beberapa diantaranya menjadi salah satu sarana ritual. Tradisi pemilikan keramik berlangsung antar generasi, yaitu pewarisan dari ibu kepada anak-anak perempuannya. Jambi Highlands has a significant role from an Archaeological perspective. Archaeological remains from the neolithic period to the Islamic period are traceable in various corners of the Bukit Barisan area. The current society is born to be generations of a community that has existed for thousands of years. One of the pieces of evidence is the existence of various traditional heirlooms of the Kerinci people in the form of bronze objects from the Dong-Son culture. Based on the Ethnographical perspective, people in the Jambi Highlands, such as Kerinci and Merangin have a unique and exclusive culture. The uniqueness can be proven in the tradition of ceramic ownership. The tradition of ownership of old ceramics by the community is indicate to have a close relationship with the tradition of using ancient objects as traditional heirlooms. The function, role, and origin of ceramics owned by the community is an important topic for research. This research uses an ethnoarchaeological approach. The researcher will do observation and open interviews. The results show that most of the ceramics collected are European ceramics, especially from the Netherlands and several ceramics from China. Jambi Highlands ceramics are one of the objects that are inherited and some of them become a ritual objects. The tradition of owning ceramics is inter-generations, from mothers to their daughters.... Kedua, struktur pikiran dalam suatu lingkungan budaya tertentu secara terpadu melatarbelakangi berbagai aspek kehidupan manusia dalam. Ketiga, pola pikiran disatu aspek kehidupan akan tercermin dalam aspek kehidupan lain Sunliensyar, 2017. ... Herry Nur HidayatThis article analized meme United Nations of Rendang through Levi-Struss structuralism perspective. In this case, social an culture seen as a structure which shows human unconsiuous to structuring a phenomenon. Sign interrelation in United Nations of Rendang as a structure automatically relate to the other meme which is another structure. Those sign convey to the surface structure and reveal the deep structure of this phenomenon. As a result, meme United Nations of Rendang shows rejection on Masterchef jury for the criticism on rendang as surface structure. This surface structure lead to awareness of same region country, awareness of western culinary domination, and a rejection for western culinary domination as deep structure.... Kedua, struktur pikiran dalam suatu lingkungan budaya tertentu secara terpadu melatarbelakangi berbagai aspek kehidupan manusia dalam. Ketiga, pola pikiran disatu aspek kehidupan akan tercermin dalam aspek kehidupan lain Sunliensyar, 2017. ... Herry Nur HidayatThis article analyzed the meme United Nations of Rendang through the Levi-Strauss structuralism perspective. In this case, social and culture seen as a structure that shows the human unconscious to structuring a phenomenon. Sign interrelation in the United Nations of Rendang as a structure automatically relates to the other meme which is another structure. Those signs convey to the surface structure and reveal the deep structure of this phenomenon. As a result, meme United Nations of Rendang shows rejection on Masterchef jury for the criticism on rendang as surface structure. This surface structure leads to awareness of the same region country, awareness of western culinary domination, and rejection of western culinary domination as a deep structure. Muhamad AlnozaBagus Dimas BramantioPenelitian ini membahas perihal penerapan kosmologis khas Sunda bernama tritangtu pada penataan kota Cianjur. Tritangtu merupakan suatu konsep akan adanya pola tiga universal di segala aspek kehidupan manusia, dimana yang menjadi fokus dalam pembahasan ini ialah tritangtu di buana atau "pola tiga di dunia". Pola tritangtu di buana terdiri dari prabhu raja, rsi pemimpin keagamaan, dan rama tetua adat Tujuan penelitian ini adalah mengungkap keberadaan pelanjutan tradisi masa pra-Islam di Jawa Barat masa Islam-Kolonial. Penelitian mengenai kelanjutan tata kota masa Hindu-Buddha ke masa Islam-Kolonial selama ini pada dasarnya belum pernah dilakukan, sehingga hal tersebutlah yang menjadi aspek kebaruan dari penelitian ini. Langkah penelitian yang digunakan dalam menjawab rumusan masalah penelitian ini, antara lain pengumpulan data, analisis, interpretasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kajian ini, kota Cianjur telah menerapkan dua konsep kosmologis dalam dua tataran, yaitu mikro dan makro. Di tataran mikro, yang meliputi pusat kota, ditata dengan mengikuti kaidah kosmologis kota-kota Islam di Jawa. Pola ini dapat dilihat dari keletakan masjid di barat alun-alun, pendopo atau pusat pemerintahan di selatan alun-alun yang sekaligus membelakangi suatu sungai kecil. Penataan ruang yang terlihat di kota Cianjur dalam tataran makro diketahui mengikuti pada kaidah konsep tritangtu. Muhamad AlnozaAn inscription is an object whose surface is inscribed with writing, the contents of which can be in the form of documents that convey certain information. The materials used in the writing of the inscriptions have several variations, including stone, bronze or copper, gold, palm leaves and so on. Research conducted by the South Sumatra Archaeological Research Center in 2018 showed that several inscriptions were found whose writing medium was tin. This phenomenon is a new fact in Indonesian archeology world, because there is no inscription found before whose writing medium was in the form of tin. This study seeks to answer the problem regarding the reasons or background for the use of tin as a writing medium for inscriptions. The methods used include data collection, analysis and interpretation. This study resulted in an understanding that the choice of tin as a writing medium is related to functional and accessibility BerggrenIt is commonly believed that images without text cannot be inter- preted. However, I have discovered that using the technique of dream interpretation worked out by Jung and practiced by psychologists of his school all over the world, some knowledge can be gained. In this article, I present two prehistoric images, the ibex and the ewe, one male, the other female; one found as a petroglyph in all the high moun- tains of Asia and South-West or incised on Near Eastern seals; the other made in pottery and found only in the pre-Etruscan site of San Giovenale in Central Italy. The ibex goes back to the Palaeolithic Period, while the ewe is only present during three- or four hundred years in the Late Bronze Age. They stand in opposition to each other, giving two different - and similar - answers to the eternal question of the signifi cance of life and Kepulauan Indo-Malaysia Edisi RevisiPeter BellwoodBellwood, Peter, 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia Edisi Revisi, Jakarta, Gramedia Pustaka UtamaNekara Tipe PejengKajian Banding terhadap Nekara Tipe Heger ID D BintartiBintarti, 2001. "Nekara Tipe PejengKajian Banding terhadap Nekara Tipe Heger I". Disertasi. Universitas Gadjah MadaSigns and Symbols Their Design and MeaningAdrian FrutigerFrutiger, Adrian, 1989. Signs and Symbols Their Design and Meaning. New York, Van Nostrand ReinHoldRagam Hias Daerah Jambi. Dinas Kebudayaan dan Parawisata JambiJa RasuhDkkRasuh, Ja'afar dkk. 2008. Ragam Hias Daerah Jambi. Dinas Kebudayaan dan Parawisata Jambi. Jambi Berkala Arkeologi Edisi Mei 2017 51-68RenfrewP BahnRenfrew, C and Bahn, P. 2000. Archaeology Theories, Methods, and Practices. Third Edition, London, Thames and Hudson, hlm. Symbol of Deer in the Ancient and Early Medieval Cultures of Azerbaijan. Peregrinations, International Society For Study of Pilgrimage ArtSaltanat RyazevaRyazeva, Saltanat, 2009, The Symbol of Deer in the Ancient and Early Medieval Cultures of Azerbaijan. Peregrinations, International Society For Study of Pilgrimage ArtIndonesian Houses Vol. I Survey of Vernacular Architecture in Western Indonesia. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en VolkenkundeReimar SchefoldJ M PeterNasSchefold, Reimar and Peter JM Nas. 2008. Indonesian Houses Vol. I Survey of Vernacular Architecture in Western Indonesia. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde, KITLV Press Soemardjo, Jacob. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia Pelacakan Hermeneutis-Historis terhadap Artefak-artefak Kebudayaan. Yogyakarta, CV. Qalam YogyakartaLogam dan Peradaban ManusiaTimbul HaryonoHaryono, Timbul, 2001. Logam dan Peradaban Manusia. Yogyakarta, Phylosophy Press AXCCo.
  • lf75x89bo3.pages.dev/25
  • lf75x89bo3.pages.dev/234
  • lf75x89bo3.pages.dev/326
  • lf75x89bo3.pages.dev/3
  • lf75x89bo3.pages.dev/13
  • lf75x89bo3.pages.dev/364
  • lf75x89bo3.pages.dev/151
  • lf75x89bo3.pages.dev/27
  • lf75x89bo3.pages.dev/236
  • kediaman dewa dilambangkan dengan motif