Tokohtasawuf pada masa ini, antara lain : Ibn Arabi Beliau memiliki nama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-Tha'I Al-Haitami Al-Andalusia. Beliau lahir di Murcia, Andalusia pada tahun 560 Hijriyah/ 1164 Masehi dan wafat pada tahun 638 Hijriyah. Ajaran tasawufnya yakni, Wahdah Al-Wujud (kesatuan wujud).

Galat skrip tidak ada modul tersebut "Infobox". Ibrahim bin Adham bahasa Arab إبراهيم بن أدهم; Ibrāhīm bin Adham adalah seorang arif besar yang hidup semasa dengan tiga imam Syiah Imam Sajjad as, Imam Baqir as, dan Imam Shadiq as. Namanya tidak termaktub dalam kitab-kitab referensi kuno ilmu rijal. Akan tetapi, menurut pandangan sebagian ulama, ia adalah seorang Syiah yang beraliran sufi. Ibrahim bin Adham berasal dari keluarga ternama dan penguasa kawasan Balkh. Akan tetapi, ia secara tiba-tiba beralih orientasi ke dunia kezuhudan tidak terikat kepada dunia dan materi. Setelah bertobat, ia berangkat menuju Mekkah dan berjumpa dengan para pembesar sufi di kota ini, seperti Sufyan al-Tsauri dan Fudahil al-'Iyadh. Setelah beberapa waktu, ia berpindah ke Syam dan berdomisili di daerah ini hingga akhir usia. Ibrahim bin Adham dikenal sebagai sumber silsilah aliran-aliran tarekat sufi, seperti Tarekat Adhamiyyah dan Tarekat Naqsyabandiyyah. Banyak karya di bidang irfan yang menjelaskan tentang biografi, nasehat serta sejarah perilaku dan perbuatan Ibrahim Adham. Ia berpandangan bahwa menikah dan mempunyai keturunan tidak sesuai dengan kezuhudan. Syaqiq al-Balkhi adalah salah satu murid Ibrahim Adham. Biografi Ibrahim bin Adham bin Sulaiman bin Manshur al-Balkhi adalah salah seorang tokoh sekte kezuhudan[1] dan arif pada abad kedua Hijriah.[2] Julukannya adalah Abu Ishak[3] dan disebut juga dengan al-'Ijli.[4] Ibrahim bin Adham dilahirkan dalam sebuah keluarga berkebangsaan Persia[5] atau bangsa Arab bani Tamim[6] di kota Balkh pada tahun 80 H[7] atau 100 H.[8] Kota Balkh kala itu termasuk dalam teritorial kekuasaan Khurasan.[9] Menurut keyakinan al-Dzahabi, penulis kitab Tarikh al-Islam, ia lahir di kota Mekkah ketika orang tuanya berkunjung ke kota ini untuk menjalankan ibadah haji.[10] Ibrahim dan para leluhurnya termasuk amir,[11] penguasa,[12] dan pembesar kota Balkh.[13] Akan tetapi, menurut laporan sumber-sumber sejarah, ia meninggalkan takhta singgasana kemewahan, memilih hidup zuhud, melakukan suluk, dan memerangi hawa nafsu.[14] Banyak buku dan kitab termasuk kitab dalam bidang irfan memuat biografi, perilaku, dan nasihat-nasihat Ibrahim bin Adham.[15] Sebagian sumber seperti Tadzkirat al-Auliya' karya Aththar Naisyaburi juga menyebutkan, Ibrahim bin Adham pernah berjumpa dengan Nabi Khidir as, dan juga mengetahui isim teragung ilahi Ism al-A'dham.[16] Memilih Zuhud Sumber-sumber referensi keislaman menyebutkan aneka ragam faktor mengapa Ibrahim bin Adham lebih memilih zuhud dan meninggalkan dunia. Faktor-faktor ini antara lain adalah ia mendengar suara gaib ketika ingin berangkat berburu,[17] seekor rusa yang berbicara,[18] atau ia menyaksikan seorang pekerja kasar yang bisa menikmati hidup dengan fasilitas yang sangat minim.[19] Menurut pengakuan Ibrahim bin Adham sendiri, ia memilih zuhud dan meninggalkan dunia lantaran beberapa faktor ini takut terhadap kesendirian di alam kubur, perjalanan panjang hari Kiamat dengan perbekalan yang tidak cukup, dan kemurkaan Allah swt sedangkan ia tidak memiliki alasan yang bisa diandalkan.[20] [catatan 1] Dalam keyakinan Ibrahim bin Adham, diperlukan beberapa syarat untuk memasuki dunia zuhud dan menggapai peringkat orang-orang saleh. Antara lain adalah menutup pintu nikmat dan membuka pintu kesengsaraan, menutup pintu kemuliaan dan membuka pintu kehinaan, menutup pintu kesantaian dan membuka pintu usaha keras, menutup pintu tidur dan membuka pintu keterjagaan, menutup pintu ketidakbutuhan dan membuka pintu kebutuhan, serta menutup pintu angan-angan dan membuka pintu kematian.[21] Menurut penilaian Muhsin Qara'ati, seorang penulis kontemporer, zuhud yang diinginkan oleh Ibrahim bin Adham bertentangan dengan arti zuhud yang didefinisikan oleh Islam[22] serta dilarang dan dicerca oleh Rasulullah saw.[23] Ibrahim menilai, pernikahan dan menghasilkan keturunan bertentangan dengan zuhud,[24] serta mengasingkan diri dari masyarakat adalah sesuatu yang wajib dilakukan.[25] Hijrah ke Makkah dan Syam Setelah bertobat, Ibrahim bin Adham berpindah ke kota Naisyabur. Ia berdiam diri selama 9 tahun di dalam gua di sebuah gunung yang bernama al-Batsra'.[26] Setelah itu, ia pergi ke Makkah.[27] Al-Dzahabi, seorang sejarawan Ahlusunah, menyebutkan, Ibrahim keluar dari kota Balkh karena takut kepada Abu Muslim al-Khurasani.[28] Di Mekah, ia berkenalan dengan para arif seperti Sufyan al-Tsauri dan Fudhail bin 'Iyadh.[29] Tidak lama berlalu, ia berpindah ke Syam.[30] Menurut para ulama, ia berhasil menyebarluaskan zuhud dan irfan di Syam.[31] Wafat Banyak sumber yang berbeda dalam mencatat tahun wafat Ibrahim bin Adham 160 H,[32] 161 H,[33] 162 H,[34] atau 166 H.[35] Ia meninggal dunia secara natural.[36] Sekalipun demikian, sebagian ahli sejarah berkeyakinan, ia wafat dalam sebuah peperangan melawan bangsa Romawi[37] di daerah Suqain, sebuah daerah yang kala itu berada dalam kekuasaan imperium Romawi.[38] Kuburan Ibrahim bin Adham juga diperdebatkan. Menurut sebuah pandangan, ia dimakamkan di Shur, sebuah kota kawasan pantai di Syam.[39] Kedudukan Ibrahim bin Adham, di samping Hasan al-Bashri w. 110 H, Malik bin Dinar, Rabi'ah al-'Adawiyyah, Syaqiq al-Balkhi, dan Makruf al-Karkhi w. 200 H, termasuk tingkatan pertama irfan dan tasawuf dalam Islam.[40] [catatan 2] Menurut keyakinan sebagian ulama, nama sufi melejit terkenal pada masa hidup Ibrahim bin Adham.[41] Para sufi asal Balkh, termasuk Ibrahim bin Adham, banyak terpengaruh oleh aliran tasawuf Bashrah. Untuk itu, mereka berlebihan dalam berzuhud, beribadah, takut, dan berkomitmen untuk hidup miskin.[42] Ibrahim bin Adham juga terpengaruh oleh tokoh-tokoh besar tasawuf seperti Hasan al-Bashri dan Sufyan al-Tsauri.[43] Sekalipun demikian, aliran tasawuf Syam juga sangat terpengaruh oleh Ibrahim bin Adham.[44] Perubahan dalam zuhud, ibadah, dan riadat-riadat sufi adalah manifestasi pengaruh Ibrahim ini.[45] Ibrahim bin Adham juga adalah seorang muhadis.[46] Namanya sangat dipuji dalam kitab-kitab rijal Ahlusunah serta disebut sebagai sahabat Abu Hanifah dan Sufyan al-Tsauri.[47] Abu Hanifah, pemimpin Mazhab Hanafiah,[48] dan Junaid al-Baghdadi menyebut Ibrahim bin Adham dengan julukan-julukan yang penuh penghormatan,[49] dan julukan-julukan ini juga banyak digunakan dalam syair-syair irfani para arif.[50] Akan tetapi, menurut Zainuddin al-Syirwani 1194-1253 H, seorang penulis dan penyair sufi, nama Ibrahim bin Adham tidak pernah disebutkan dalam kitab-kitab rijal Syiah terdahulu.[51] Sayid Muhsin al-A'raji al-Kazhimi 1130-1227 H, seorang fakih Syiah, menyebut Ibrahim bin Adham bersama Kumail bin Ziyad, Busyr bin Harits al-Mirwazi, dan Bayazid al-Basthami sebagai ahli ilmu rijal Syiah yang beraliran sufi.[52] Ibrahim bin Adham dikenal sebagai pencetus silsilah beberapa tarekat sufi.[53] Untuk itu, tarekat Adhamiyyah[54] dan Naqsyabandiyyah berkeyakinan bersambung kepada Imam Sajjad as melalui perantara Ibrahim ini.[55] [catatan 3] Hubungan dengan Para Imam Maksum Ibrahim bin Adham hidup semasa dengan Imam Sajjad as, Imam Baqir as, dan Imam Shadiq as. Sumber-sumber referensi juga mencatat hubungannya dengan para imam Syiah ini. Menurut sebagian sumber, ia senantiasa menjalin hubungan dekat Imam Sajjad as.[56] Pertemuan Ibrahim bin Adham dengan Imam Zainal Abidin as, serta wejangan beliau untuknya juga termaktub dalam sumber-sumber referensi Syiah.[57] Zainal Abidin al-Syirwani menyebutkan, Ibrahim bin Adham pernah berjumpa dengan Imam Baqir as,[58] dan Muhammad Kazhim Asrar Tabrizi 1265-1315 H, seorang penyair dan sufi di masa dinasti Qajar, menyebut Ibrahim bin Adham termasuk salah seorang pengikut setia Imam Baqir as.[59] Beberapa hadis Imam Baqir as disebutkan dalam kitab-kitab referensi hadis melalui riwayat Ibrahim bin Adham.[60] Dalam kitab Safinat al-Bihar dan beberapa sumber yang lain diriwayatkan, ketika Imam Shadiq as ingin keluar dari Kufah menuju Madinah, Ibrahim bin Adham turut mengantar beliau.[61] Menurut beberapa sumber yang lain, ia termasuk salah seorang khadim pelayan Imam Shadiq as.[62] Guru dan Murid Ibrahim bin Adham meriwayatkan hadis dari Imam Baqir as, Muhammad bin Ziyad al-Jumahi, Abu Ishak, Malik bin Dinar, al-A'masy, dan ayahnya sendiri.[63] Murid Ibrahim bin Adham yang paling masyhur adalah Syaqiq al-Balkhi yang juga merupakan arif besar dan murid Imam Kazhim as.[64] Menurut pandangan yang masyhur,[65] Syaqiq adalah hasil didikan langsung Ibrahim bin Adham,[66] atau sahabat seperjuangannya.[67] Dalam Syair dan Sastra Metode hidup, perilaku, dan nasihat-nasihat Ibrahim bin Adham terefleksikan dalam syair-syair yang dilantunkan oleh para penyair, terutama para arif, secara luas. Semua ini terjelmakan dalam syair-syair dengan aneka ragam tema, seperti biografi,[68] kisah tobat dan memilih zuhud,[69] faktor hijrah,[70] perjumpaan dengan Nabi Khidir as,[71] putra kita,[72] munajat,[73] keramat,[74] hikayat,[75] dan tema-tema yang lain. Pranala Terkait Fudhail bin 'Iyadh Hasan al-Bashri Makruf al-Karkhi Catatan Kaki ↑ Al-Sahruwardi, 'Awārif al-Ma'ārif, 1375 S, hlm. 4. ↑ Thabathaba'i, Syi'eh dar Eslām, 1378 S, hlm. 110. ↑ Al-Sullami, Thabaqāt al-Shūfiyyah, 1424 H, hlm. 15; al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjub, 1375 S, hlm. 128. ↑ Ibn Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, 1407 H, jld. 1, hlm. 135. ↑ Pirjamal Ardestani, Mir'at al-Afrad, 1371 S, hlm. 332. ↑ Al-Dzahabi, Tārīkh al-Islām, 1413 H, jld. 10, hlm. 44; Faqir Estahbanati, Khārābāt, 1377 S, hlm. 129. ↑ Faqir Estahbanati, Khārābāt, 1377 S, hlm. 129. ↑ Al-Dzahabi, Siyar A'lām al-Nubalā', 1406 H, jld. 7, hlm. 387-388. ↑ Al-Sullami, Thabaqāt al-Shūfiyyah, 1424 H, hlm. 15. ↑ Al-Dzahabi, Tārīkh al-Islām, 1413 H, jld. 10, hlm. 45. ↑ Al-Sullami, Thabaqāt al-Shūfiyyah, 1424 H, hlm. 15. ↑ Mutahhari, Majmū'eh-ye Ātsār, 1377 S, hlm. 48. ↑ Al-Dzahabi, Tārīkh al-Islām, 1413 H, jld. 10, hlm. 45; al-Kharazmi, Yanbūʻ al-Asrār, 1384 S, jld. 1, hlm. 377. ↑ Sajjadi, Farhangg-e Maʻāref-e Eslāmī, 1373 S, jld. 1, hlm. 126; Mutahhari, Majmū'eh-ye Ātsār, 1377 S, hlm. 327. ↑ Sebagai contoh, silakan rujuk Aththar Naisyaburi, Tadzkirat al-Auliyā’, 1905 M, hlm. 94; Qusyairi, Risālah Qusyairiyyah, 1374 S, hlm. 345, 430, dan 455; al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjub, 1375 S, hlm. 129; al-Mustamili al-Bukhari, Syarh al-Taʻarruf li Madzhab al-Tashawwuf, 1363 S, jld. 1, hlm. 226; al-Nasafi, Rāz-e Rabbāniy-e Asrārul Wahy-e Subhānī, 1378 S, hlm. 127 dan 163; Sahruwardi, Awārif al-Maʻārif, 1375 S, hlm. 3; al-Ghazali, Terjemah kitab Ihyā' 'Ulūm al-Dīn, 1386 S, jld. 3, hlm. 185; al-Sullami, Majmūʻat Ātsār al-Sullami, 1369 S, jld. 1, hlm. 366; al-Ghazali, Kimiya-ye Saʻādat, 1383 S, jld. 1, hlm. 363; al-Meibudi, Kasyf al-Asrār wa Uddat al-Abrār, 1371 S, jld. 5, hlm. 451; al-Samʻani, Ruh al-Arwah fi Syarh Asma’ al-Malik al-Fattah, 1384 S, hlm. 169 dan 513; Anshariyan, Erfan-e Eslami, 1386 S, jld. 2, hlm. 462; Mesykini, Nasayeh wa Sokhanan-e Chahardah Ma'shum wa Hezar-o-yek Sokhan, 1382 S, hlm. 165; Faqir Estahbanati, Khārābāt, 1377 S, hlm. 92; Faidh Kasyani, Rah-e Rousyan, 1372 S, jld. 5, hlm. 220; al-Dailami, Terjemah Irsyad al-Qulub, 1349 S, jld. 2, hlm. 277; al-Karajiki, Nuzhat al-Nawazhir fi Tarjumat Maʻdan al-Jawāhir, Teheran, hlm. 77; Jami, Nafahat al-Uns, 1858 M, hlm. 4. ↑ Aththar Naisyaburi, Tadzkirat al-Auliyā', 1905 M, hlm. 88; al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 11; Ibnu Khamis al-Mushili, Manaqib al-Abrar wa Mahasin al-Akhyar fi Thabaqat al-Shufiyyah, 1427 H, jld. 1, hlm. 51. ↑ Ibnu Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, 1407 H, jld. 1, hlm. 135; Al-Sullami, Thabaqāt al-Shūfiyyah, 1424 H, hlm. 15; Ibnu al-Mulaqqin, Thabaqat al-Auliya', 1427 H, hlm. 37; al-Manawi, al-Kawakib al-Durriyyah di Tarajum al-Sadah al-Shufiyyah, 1999 M, jld. 1, hlm. 195; Zaqzuq, Mausuʻat al-Tashawwuf al-Islami, 1430 H, hlm. 202; Ibnu Khamis al-Mushili, Manaqib al-Abrar wa Mahasin al-Akhyar fi Thabaqat al-Shufiyyah, 1427 H, jld. 1, hlm. 51. ↑ Al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjub, 1375 S, hlm. 128. ↑ Mazhahiri, Akhlaq wa Jawan, 1387 S, jld. 1, hlm. 103. ↑ Mesykini, Nasayeh wa Sokhanan-e Chahardah Ma'shum wa Hezar-o-yek Sokhan, 1382 S, hlm. 165. ↑ Al-Sahruwardi, 'Awārif al-Ma'ārif, 1375 S, hlm. 3. ↑ Qara'ati, Gonah-syenasi, 1386 S, hlm. 197. ↑ Qara'ati, Gonah-syenasi, 1386 S, hlm. 197. ↑ Aththar Naisyaburi, Tadzkirat al-Auliyā, 1905 M, hlm. 93; Kasyani, Majmu'eh-ye Rasa'el wa Mushannafat Kasyani, 1380 S, hlm. 54; Syahid Tsani, Munyat al-Murid, 1409 H, hlm. 228; Faqir Estahbanati, Khārābāt, 1377 S, hlm. 92. ↑ Faqir Estahbanati, Khārābāt, 1377 S, hlm. 92. ↑ Al-Zubaidi, Taj al-'Arus min Jawahir al-Qamus, 1414 H, jld. 6, hlm. 47. ↑ Aththar Naisyaburi, Tadzkirat al-Auliyā', 1905 M, hlm. 87. ↑ Al-Dzahabi, Tārīkh al-Islām, 1413 H, jld. 10, hlm. 44. ↑ Al-Sullami, Thabaqāt al-Shūfiyyah, 1424 H, hlm. 15; Faqir Estahbanati, Khārābāt, 1377 S, hlm. 129. ↑ Ibnu al-Mulaqqin, Thabaqat al-Auliya, 1427 H, hlm. 37. ↑ Lembaga Pemberdayaan dan Pemasyarakatan Budaya Islam Hasanat Isfahan, Seiri dar Sepehr-e Akhlaq, 1389 S, jld. 1, hlm. 107. ↑ Al-Kharazmi, Yanbū' al-Asrār, 1384 S, jld. 1, hlm. 377. ↑ Al-Sullami, Thabaqāt al-Shūfiyyah, 1424 H, hlm. 15; Ibnu al-Mulaqqin, Thabaqat al-Auliya’, 1427 H, hlm. 39; Ruzbehan Tsani, Tuhfat Ahl al-'Irfan, 1382 S, hlm. 21. ↑ Ibnu 'Imad al-Hanbali, Syadzarat al-Dzahab, 1406 H, jld. 2, hlm. 282; Pirjamal Ardestani, Mir'at al-Afrad, 1371 S, hlm. 332. ↑ Al-Kharazmi, Yanbū' al-Asrār, 1384 S, jld. 1, hlm. 377. ↑ Al-Kharazmi, Yanbū' al-Asrār, 1384 S, jld. 1, hlm. 377, menukil dari Tadzkirat al-Auliya'. ↑ Ruzbehan Tsani, Tuhfat Ahl al-'Irfan, 1382 S, hlm. 21. ↑ Al-Zubaidi, Taj al-Arus min Jawahir al-Qamus, 1414 H, jld. 13, hlm. 232; Al-Kharazmi, Yanbū' al-Asrār, 1384 S, jld. 1, hlm. 377. ↑ Ibnu al-Mulaqqin, Thabaqat al-Auliya', 1427 H, hlm. 39. Untuk mengetahui pandangan yang lain, silakan rujuk al-Zirikli, al-A'lam, 1989 M, jld. 1, hlm. 31. ↑ Ahmadpur, Ketab-syenakht-e Akhlaq-e Eslami, laporan analisis tentang warisan aliran-liran akhlak Islam, 1385 S, hlm. 37. ↑ Ahmadpur, Ketab-syenasi-ye Akhlaq-e Eslami, laporan analistis tentang warisan aliran-liran akhlak Islam, 1385 S, hlm. 37. ↑ Al-Sullami, Majmū'at Ātsār Abu Abdirrahman al-Sullami, 1369 S, jld. 1, hlm. 385. ↑ Lembaga Pemberdayaan dan Pemasyarakatan Budaya Islam Hasanat Isfahan, Seiri dar Sepehr-e Akhlaq, 1389 S, jld. 1, hlm. 107. ↑ Lembaga Pemberdayaan dan Pemasyarakatan Budaya Islam Hasanat Isfahan, Seiri dar Sepehr-e Akhlaq, 1389 S, jld. 1, hlm. 107. ↑ Lembaga Pemberdayaan dan Pemasyarakatan Budaya Islam Hasanat Isfahan, Seiri dar Sepehr-e Akhlaq, 1389 S, jld. 1, hlm. 107. ↑ Ensiklopedia Besar Islam, jld. 1, hlm. 405, kosa kata Ibrahim bin Adham. ↑ Al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 12. ↑ Aththar Naisyaburi, Tadzkirat al-Auliyā’, 1905 M, hlm. 86. ↑ Aththar Naisyaburi, Tadzkirat al-Auliyā’, 1905 M, hlm. 85. ↑ Al-Asiri al-Lahiji, Asrar al-Syuhud fi Maʻrifat al-Haqq al-Ma'bud, hlm. 182. ↑ Al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 11. ↑ Al-A'raji al-Kazhimi, 'Uddat al-Rijal, 1415 H, jld. 2, hlm. 60. ↑ Al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 7; Mirza Syirazi, Manahij Anwar al-Ma'rifah fi Syarh Mishbah al-Syari'ah, 1363 S, jld. 1, hlm. 645. ↑ Gulpinarli, Maulana Jalaluddin, 1363 S, hlm. 246; Masykur, Farhangg-e Feraq-e Eslami, 1372 S, hlm. 309. ↑ Mirza Syirazi, Manahij Anwar al-Maʻrifah fi Syarh Mishbah al-Syari'ah, 1363 S, jld. 1, hlm. 645. ↑ Al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 190. ↑ Namazi Syahrudi, Mustadrakat 'Ilm Rijal al-Hadits, 1414 H, jld. 1 , hlm. 118; al-Qummi, Safinat al-Bihar, 1414 H, jld. 1, hlm. 289. ↑ Al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 190. ↑ Al-Tabrizi, Manzhar al-Auliya', 1388 S, hlm. 140. ↑ Ibnu Thawus, Muhaj al-Da'awat wa Manhaj al-'Ibadat, 1411 H, hlm. 75. ↑ Al-Qummi, Safinat al-Bihar, 1414 H, jld. 1, hlm. 289; Ibnu Syahr Asyub, Manaqib Al Abi Thalib, 1379 H, jld. 4, hlm. 241. ↑ Al-Jaza'iri, Riyadh al-Abrar fi Manaqib al-A'imma al-Athhar, 1427 H, jld. 2, hlm. 136; Ibnu Syahr Asyub, Manaqib Al Abi Thalib, 1379 H, jld. 4, hlm. 248; al-Majlisi, Zendegani-ye Hazrat-e Emam Shadiq as, 1398 H, hlm. 22. ↑ Al-Dzahabi, Tārīkh al-Islām, 1413 H, jld. 10, hlm. 44. ↑ Sajjadi, Farhangg-e Maʻāref-e Eslāmī, 1373 S, jld. 1, hlm. 106. ↑ Faqir Estahbanati, Khārābāt, 1377 S, hlm. 124. ↑ Shafi Alisyah, Irfan al-Haqq, 1371 S, hlm. 121; Mutahhari, Majmū’eh-ye Ātsār, 1377 S, hlm. 48. ↑ Al-Sullami, Thabaqāt al-Shūfiyyah, 1424 H, hlm. 18. ↑ Syah Ni'matullah Wali, Diwan-e Syah Ni'matullah Wali, 1380 S, hlm. 996; Aththar Naisyaburi, Elahi-nameh-ye Aththar, 1355 H, hlm. 21; Al-Asiri al-Lahiji, Asrar al-Syuhud fi Maʻrifat al-Haqq al-Ma'bud, hlm. 182. ↑ Khalkhali, Rasa'el-e Farsi-ye Adham Khalkhali, 1381 S, hlm. 141. ↑ Maulawi, Matsnawi Maulawi, 1373 S, hlm. 520. ↑ Aththar Naisyaburi, Elahi-nameh-ye Aththar, 1355 H, hlm. 277. ↑ Aththar Naisyaburi, Manthiq al-Thair, 1373 H, hlm. 232. ↑ Aththar Naisyaburi, Elahi-nameh-ye Aththar, 1355 H, hlm. 402. ↑ Maulawi, Matsnawi Maulawi, 1373 S, hlm. 279. ↑ Aththar Naisyaburi, Mushibat-nameh, 1354 H, hlm. 225; Maulawi, Diwan-e Kabir-e Syams, 1384 S, hlm. 717; Aththar Naisyaburi, Elahi-nameh-ye Aththar, 1355 H, hlm. 69; Faidh Kasyani, Diwan-e Faidh Kasyani, 1381 S, jld. 4, hlm. 79; Aththar Naisyaburi, Mazhhar al-'Aja'ib wa Mazhhar al-Asrar, 1323 S, hlm. 98; Faidh Kasyani, Erfan-e Matsnawi, 1379 S, hlm. 178. ↑ Masih terdapat faktor-faktor lain yang mendorong Ibrahim bin Adham untuk memilih zuhud. Untuk informasi lebih detail, silakan rujuk Aththar Naisyaburi, Tadzkirat al-Auliyā’, 1905 M, hlm. 86; Fathimi, Ganineh-ye Akhlaq, Jami’ al-Durar Fathimi, 1384 S, jld. 2, hlm. 154; al-Mustamili al-Bukhari, Syarh al-Ta'arruf li Madzhab al-Tashawwuf, 1363 S, jld. 1, hlm. 202. ↑ Sekalipun demikian, menurut keyakinan sebagian ulama, sebagian sahabat Imam Ali as, seperti Salman al-Farisi, Uwais al-Qarani, Kumail bin Ziyad, Rasyid al-Hijri, dan Maitsam al-Tammar, berada dalam tingkatan pertama irfan. Para arif meletakkan figur-figur agung ini berada di atas silsilah mereka Thabathaba'i, Syi'eh dar Eslam, 1378 S, hlm. 110. ↑ Sebagian ulama berkeyakinan, Ibrahim bin Adham dalam tarekat memiliki silsilah kepada Imam Ali as melalui Fudhail bin 'Iyadh, dari Fudhail melalui Abdulwahid bin Zaid, dari Abdulwahid melalui Kumail bin Ziyad, dan dari Kumail kepada Amirul Mukminin as al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 38. Tarekat Chasytiyyah menerima silsilah ini al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 38. Meskipun sebagian ulama berkeyakinan, Adhamiyyah dan Chasytiyyah bersambung kepada Imam Baqir as melalui Ibrahim bin Adham al-Syirwani, Riyadh al-Siyahah, 1361 S, jld. 1, hlm. 38; al-Syirwani, Bustan al-Siyahah, 1315 S, jld. 1, hlm. 347. Begitu pula, tarekat Husainiyyah bersambung kepada Imam Baqir as melalui Ibrahim bin Adham al-Syirwani, Bustan al-Siyahah, 1315 S, jld. 1, hlm. 346. Referensi Ibnu al-Mulaqqin, Umar bin Ali al-Mishri. cet. 2, 1427 H. Thabaqat al-Auliya', Beirut Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah. Ibnu Khamis al-Mushili, Husain bin Nashr bin Muhammad. 1427 H. Manaqib al-Abrar wa Mahasin al-Akhyar fi Thabaqat al-Shufiyyah, Beirut Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah. Ibnu Syahr Asyub al-Mazandarani, Muhammad bin Ali. 1379 H. Manaqib Al Abi Thalib, Qom Allameh. Ibnu Thawus, Ali bin Musa. 1411 H. Muhaj al-Da'awat wa Manhaj al-'Ibadat, Qom Dar al-Dzakha'ir. Ibnu Imad al-Hanbali, Abul Falah Syihabuddin. 1406 H. Syadzarat al-Dzahab fi Akhbari Man Dzahab, diteliti ulang oleh al-Arna'uth, Beirut Dar Ibnu Katsir. Ibnu Katsir al-Dimasyqi, Ismail bin Umar. 1407 H. Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, Beirut Dar al-Fikr. Ahmadpur, Mahdi. 1385 S. Ketab-syenasi-ye Akhlaq-e Eslami, Qom Pusat Penelitian Ilmu dan Budaya Islam. Al-Asiri al-Lahiji, Muhammad. Asrar al-Syuhud fi Ma'rifat al-Haqq al-Maʻbud, Al-Aʻraji al-Kazhimi, Muhsin bin Hasan. 1415 H. 'Uddat al-Rijal, Qom Ismailiyan. Anshariyan, Husain. 1386 S. Erfan-e Eslami Syarh Mishbah al-Syari'ah, Qom Dar al-'Irfan. Pirjamal Ardestani. cet. 1, 1371 S. Mir'at al-Afrad, Teheran Penerbit Zuwwar. Al-Tabrizi, Muhammad Kazhim bin Muhammad. 1388 S. Manzhar al-Auliya’, Teheran Perpustakaan dan Pusat Dokumen Majelis Syura Islami. Jami, Abdurrahman. 1858 M. Nafahat al-Uns, Kalkutta Penerbit Laisi. Al-Jaza'iri, Ni'matullah bin Abdullah. 1427 H. Riyadh al-Abrar fi Manaqib al-A'imma al-Athhar, Beirut Muassasah al-Tarikh al-'Arabi. Al-Kharazmi, Kamaluddin Husain. 1384 S. Yanbū' al-Asrār, Teheran Asosiasi Warisan dan Kebanggaan Budaya. Ensiklopedia Besar Islam. 1374 S. Teheran Pusat Ensiklopedia Besar Islam. Al-Dailami, Hasan bin Muhammad. 1349 S. Terjemah Irsyad al-Qulub, Teheran Toko Buku Jamhari. Al-Dzahabi, Muhammad bin Ahmad. 1413 H. Tārīkh al-Islām wa Wafayat al-Masyahir wa al-A'lam, diteliti ulang oleh Umar Abdussalam al-Tadmuri, Beirut Dar al-Kitab al-'Arabi. Mirza Syirazi, Abul Qasim. cet. 2, 1363 S. Manahij Anwar al-Ma'rifah fi Syarh Mishbah al-Syari'ah, Teheran Khan-qah Ahmadi. Ruzbehan Tsani, Ibrahim bin Shadruddin. cet. 2, 1382 S. Tuhfat Ahl al-'Irfan, Teheran Yalda Qalam. Al-Zubaidi, Muhammad Murtadha. 1414 H. Taj al-'Arus min Jawahir al-Qamus, Beirut Dar al-Fikr. Al-Zirikli, Khairuddin. 1989 M. Al-A'lam, Beirut Dar al-Malayin. Zaqzuq, Mahmud Hamdi. 1430 H. Mausu'at al-Tashawwuf al-Islami, Kairo Kementerian Wakaf Mesir. Sajjadi, Sayyid Ja'far. 1373 S. Farhangg-e Ma'āref-e Eslāmī, Teheran Penerbit Universitas Teheran. Al-Sullami, Muhammad bin Husain. cet. 2, 1424 H. Thabaqāt al-Shūfiyyah, Beirut Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah. Al-Sullami, Muhammad bin Husain. 1369 S. Majmū'at Ātsār al-Sullami, Teheran Markas Penerbitan Danesygahi. Al-Samʻani, Ahmad. cet. 2, 1384 S. Ruh al-Arwah fi Syarh Asma' al-Malik al-Fattah, Teheran Entesyarat-e 'Elmi wa Farhanggi. Al-Sahruwardi, Syihabuddin Abu Hafsh. 1375 S. Awārif al-Ma'ārif, terjemah Abu Manshur al-Isfahani, Teheran Entesyarat-e 'Elmi wa Farhanggi. Syahid Tsani, Zainuddin bin Ali. 1409 H. Munyat al-Murid, Qom Maktabah al-I'lam al-Islami. Al-Syirwani, Zainul Abidin. 1361 S. Riyadh al-Siyahah, Teheran Entesyarat-e Sa'di. Shafi Alisyah, Muhammad Hasan bin Muhammad Baqir. cet. 2, 1371 S. Irfan al-Haqq, Teheran Shafi Alisyah. Thabathaba'i, Muhammad Husain. cet. 13, 1378 S. Syiʻeh dar Eslām', Qom Daftar-e Nasyr-e slami. Aththar Naisyaburi, Fariduddin. cet. 1, 1905 M. Tadzkirat al-Auliyā’, Percetakan Liden. Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. cet. 11, 1383 S. Kimiya-ye Saʻādat, Teheran Entesyarat-e 'Elmi Farhanggi. Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. cet. 6, 1386 S. Ihya' 'Ulum al-Din, terjemah Mu'yyiduddin al-Kharazmi, Teheran Entesyarat-e 'Elmi Farhanggi. Faqir Estahbanati, Ali. 1377 S. Khārābāt dar Bayan-e Hekmat, Syoja'at, Effat, wa Edalat, Teheran Ayeneh-ye Mirats. Faidh Kasyani, Muhammad bin Syah Murtadha. 1372 S. Rah-e Rousyan, Masyhad Astaneh-ye Qods-e Rezawi. Qara'ati, Muhsin. cet. 8, 1386 S. Gonah-syenasi, Teheran Pusat Budaya Darshai az Quran. Qusyairi, Abul Qasim Abdulkarim. cet. 4, 1374 S. Risālah Qusyairiyyah, Teheran Teheran Entesyarat-e 'Elmi wa Farhanggi. Al-Qummi, Abbas. 1414 H. Safinat al-Bihar, Qom Usweh. Kasyani, Abdurrazzaq. cet. 2, 1380 S. Majmu'eh-ye Rasa'el wa Mushannfat-e Kasyani, Teheran Mirats-e Maktub. Lembaga Pemberdayaan dan Pemasyarakatan Budaya Islam Hasanat Isfahan. 1389 S. Seiri dar Sepehr-e Akhlaq, Qom Shahifeh-ye Kherad. Al-Karajiki, Muhammad bin Ali. Nuzhat al-Nawazhir fi Tarjumat Ma'dan al-Jawāhir, Teheran Eslamiyyeh. Gulpinarli, Abdulbaqi. cet. 3, 1363 S. Maulana Jalaluddin, terjemah Taufik Subhani, Teheran Yayasan Riset Kebudayaan. Al-Majlisi, Muhammad Baqir. cet. 2, 1398 H. Zendegani-ye Hazrat-e Emam Shadiq as, terjemah Musa Khosrawi, Teheran Eslamiyyeh. Al-Mustamili al-Bukhari, Ismail. 1363 S. Syarh al-Taʻarruf li Madzhab al-Tashawwuf, Teheran Entesyarat-e Asathhir. Masykur, Muhammad Jawad. cet. 2, 1372 S. Farhang-ge Feraq-e Eslami, Masyhad Astanh-ye Qods-e Rezawi. Mesykini Ardebili, Ali. cet. 24, 1382 S. Nasayeh wa Sokhanan-e Chahardah Ma'shum wa Hezar-o-yek Sokhan, Qom Nasyr al-Hadi. Mutahhari, Murtadha. cet. 8, 1377 S. Majmū’eh-ye Ātsār, Teheran Shadra. Mazhahiri, Husain. cet. 4, 1387 S. Akhlaq wa Jawan, Qom Syafaq. Al-Manawi, Muhammad Abdurra'uf. 1999 M. Al-Kawakib al-Durriyyah di Tarajum al-Sadah al-Shufiyyah, Beirut Dar al-Shadir. Al-Meibudi, Abul Fadhl Rasyiduddin. cet. 5, 1371 S. Kasyf al-Asrār wa 'Uddat al-Abrār, Teheran Entesyarat-e Amir Kabir. Al-Nasafi, Azizuddin. 1378 S. Rāz-e Rabbāniy-e Asrārul Wahy-e Subhānī, Teheran Entesyarat-e Amir Kabir. Namazi Syahrudi, Ali. 1414 H. Mustadrakat 'Ilm Rijal al-Hadits, Teheran putra penulis. Al-Hujwiri, Abul Hasan Ali. cet. 4, 1375 S. Kasyf al-Mahjub, Teheran Thahuri. vte Sahabat-sahabat Imam Baqir asAshabul Ijma' Zurarah bin A'yan • Buraid bin Muawiyah al-'Ijli • Ma'ruf bin Kharrabudz • Fudhail bin Yasar • Muhammad bin MuslimPerawi-perawi lain Abu Jarud • Aban bin Abi 'Ayyasy • Abu Bashir al-Asadi • Abu Hamzah al-Tsumali • Abu Khalid al-Kabuli • Bukayr bin A'yan • Jabir bin Yazid al-Ju'fi • Humran bin A'yan • Khalid bin Abi Karimah • Khaytsamah bin Abdurrahman• Abdul Malik bin A'yan • Layts bin Bakhtari al-Muradi• Aban bin Taglib
Kalautidak, maka ia adalah tasawuf yang menyimpang. Ibnu Taimiyah dalam kitab yang disebut di atas mengatakan; "Para wali Allah swt adalah orang-orang mukmin yang bertakwa baik ia dikatakan Faqir, Sufi, Faqih, Alim, Tajir, Amir, Hakim dan lain sebagainya". Sehingga dalam hal ini, Ibnu taimiyah mengklasifikasikan tasawuf menjadi dua
OLEH HASANUL RIZQA Pada abad kedua Hijriyah, seorang ahli tasawuf lahir dari generasi tabiin. Dialah Syekh Ibrahim bin Adham. Baginya, tarekat lebih utama daripada takhta. Sang Sufi dari Khurasan Nabi Muhammad SAW bersabda, “Yang terbaik dari kalian umat Islam adalah orang-orang yang hidup pada zamanku sahabat, kemudian orang-orang setelah mereka tabi’in, kemudian orang-orang setelah mereka at-tabiit taabi’in.” Hadis tersebut menunjukkan betapa mulianya kedudukan tiga generasi itu. Mereka menjadi yang paling awal dalam menerima dan menyebarluaskan risalah Islam. Dari generasi tabiin, terdapat seorang tokoh yang menekuni dunia tasawuf. Dialah Syekh Ibrahim bin Adham 718-782. Sang salik lahir di tengah komunitas Arab Kota Balkh, daerah Khurasan timur kini bagian dari Afghanistan. Menurut Imam Bukhari 810-870, sufi tersebut masih keturunan sahabat Rasulullah SAW, Al-Faruq Umar bin Khattab 584-644. Sepanjang hayatnya, sang syekh telah berkelana ke banyak kota, termasuk Baitul Makdis. Ia wafat dalam usia kira-kira 64 tahun. Ada beragam pendapat mengenai lokasi makamnya. Sejarawan Ibnu Asakir 1105-1175 mengatakan, sang sufi gugur saat mengikuti jihad dalam melawan Kekaisaran Romawi Timur. Jenazahnya kemudian dimakamkan di sebuah pulau wilayah Bizantium. Ada pula yang menyebut, kuburannya berada di Baghdad. Sumber lain menyatakan, tempat peristirahatan terakhirnya ialah Jablah, sebuah kota pesisir Suriah. Sebagai seorang sufi dari kelompok tabiin, reputasinya dikenal luas. Banyak figur tasawuf terkemuka yang menyebutkan riwayat Syekh Ibrahim dalam karya-karyanya. Hal itu menandakan, pengaruh sosok yang berjulukan Abu Ishaq tersebut sangatlah besar bagi generasi-generasi salik yang datang sesudahnya. Sebagai seorang sufi dari kelompok tabiin, reputasinya dikenal luas. Rumi, misalnya, beberapa kali mengisahkan ahli zuhud itu dalam Matsnawi. Begitu pula dengan Fariduddin Attar 1145-1220, yang menuturkan hikmah-hikmah Abu Ishaq dalam Manthiqut Thair dan Tadzkiratul Auliya. Banyak buku lainnya yang memaparkan kisah pengembaraan hidup lelaki bijaksana ini. Sebut saja, Hilyatul Auliya Juz I, Al-Bidayah wal Nihayah Juz X, serta Al-I’lam Juz I. Seperti halnya narasi tentang para sufi, riwayat Syekh Ibrahim pun diwarnai berbagai cerita yang menakjubkan. Bagi sebagian kalangan, adanya nuansa “keajaiban” itu wajar adanya. Sebab, tokoh tersebut memang diyakini memiliki karamah. Bagaimanapun, sketsa kehidupan sang syekh juga dapat diteliti secara apa adanya. Menurut Reynold A Nicholson dalam artikelnya, “Ibrahim b Adham”, para ahli sejarah dapat mengandalkan sumber-sumber dari sarjana Muslim terdahulu, semisal Ibnu Asakir atau Abu Nu’aim al-Isfahani 948-1038. Keduanya menuturkan, Ibrahim bin Adham lahir kira-kira pada tahun 112 Hijriyah. Namun, ada perbedaan mengenai lokasi kelahirannya. Ibnu Asakir berpendapat, Ibrahim bin Adham lahir di Balkh. Sementara itu, al-Isfahani dalam Hilyatul Auliya mengisahkan, sang sufi lahir di Makkah ketika kedua orang tuanya sedang berhaji. Kisahnya bermula pada suatu musim haji. Sang sufi lahir di Makkah ketika kedua orang tuanya sedang berhaji. Kisahnya bermula pada suatu musim haji. Adham bin Manshur, seorang bangsawan kaya raya, berziarah ke Tanah Suci dengan didampingi istrinya tercinta. Di kota kelahiran Rasulullah SAW itu, perempuan tersebut melahirkan bayi yang akhirnya diberi nama Ibrahim. Adham dengan suka cita membawa anaknya itu ke hadapan Ka’bah. Setiap berpapasan dengan jamaah yang sedang thawaf, lelaki dari Balkh ini selalu meminta mereka untuk mendoakan kebaikan bagi putranya. Berbagai karangan menyebut, Ibrahim bin Adham pernah menjadi raja atau anak seorang raja Khurasan sebelum mendalami tasawuf. Akan tetapi, keterangan semacam itu tidak memiliki pijakan historis yang kuat. N Hanif dalam Biographical Encyclopaedia of Sufis Central Asia and Middle East 2002 mengungkapkan, orang pertama yang menyematkan status raja kepada sufi tersebut ialah Ibnu Husein al-Sulami. Bahkan, sarjana Muslim dari abad ke-10 Masehi itu menyatakan, Syekh Ibrahim pernah berjumpa dengan Nabi Khidir AS sehingga dirinya bertobat. Tema pertobatan sang mursyid kala masih muda juga disinggung Attar dalam Tadzkiratul Auliya. Sastrawan-sufi itu mengisahkan, pada mulanya Syekh Ibrahim sedang terlelap di atas ranjang istananya. Saat tengah malam itu, tiba-tiba ia terbangun karena mendengar suara berisik dari arah atap. “Siapa itu!?” teriaknya. “Aku sahabatmu,” jawab suara itu, “untaku telah hilang, dan aku sedang mencarinya kini.” “Kurang ajar, apa kau sedang mempermainkanku!? Bagaimana orang mencari unta di atas atap?” “Wahai orang yang lalai, apakah engkau mencari Allah dengan pakaian mewahmu, dan sambil berbaring di atas ranjang emas?” timpal suara itu. Wahai orang yang lalai, apakah engkau mencari Allah dengan pakaian mewahmu, dan sambil berbaring di atas ranjang emas? Mendengar jawaban tersebut, Ibrahim terhenyak. Hingga pagi menjelang, dirinya tidak tidur. Pikirannya terus merenungi makna kata-kata itu. Bahkan hingga siang tiba, Ibrahim terus tenggelam dalam perenungan. Para menteri dan jajarannya bingung melihat raja mereka termenung, seperti sedang memikirkan suatu hal yang penting. Tiba-tiba, aula raja didatangi seorang lelaki tak dikenal. Alih-alih mengusirnya, para pengawal istana justru diam terpaku. Wajah pria asing itu seperti memancarkan kewibawaan. Orang-orang kagum menyaksikannya. Lidah mereka seakan tercekat, tak bisa berkata-kata. Lelaki yang tak diketahui namanya itu terus berjalan ke arah singgasana. “Apa yang engkau inginkan?” tanya Ibrahim. “Aku datang ke karvansaray ini untuk menyampaikan sesuatu,” katanya. “Ini istana raja, bukan karvansaray!” ujar Ibrahim dengan nada tersinggung. Raja Khurasan itu rupanya tidak terima, tempat tinggalnya disamakan dengan sebuah pondok penginapan untuk kaum musafir atau pedagang karvansaray. “Baiklah, siapa yang memiliki istana ini sebelummu?” “Bapakku!” jawab Ibrahim. “Sebelum dia?” “Kakekku!” tegasnya. “Sebelumnya lagi?” “Si fulan, dan fulan, lalu seterusnya,” sambung Ibrahim. “Mereka semua pergi ke mana?” tanya orang misterius ini. “Semuanya sudah tidak ada. Mereka telah mati.” “Kalau begitu, bukankah tempat ini sebuah karvansaray? Orang-orang datang dan pergi. Kelak, engkau pun juga begitu,” ucap tamu tak diundang ini. Setelah mengatakan itu, lelaki nan bijaksana tersebut pergi begitu saja. “Dia adalah Nabi Khidir AS,” jelas Attar kepada pembaca kitabnya ini. Sejak perjumpaan itu, lanjutnya, Ibrahim bin Adham menyadari kekeliruannya. Selama ini, bangsawan Negeri Khurasan itu selalu membangga-banggakan diri dengan harta dan kekuasaan. Api kesadaran lalu menyala dalam dirinya. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan semua kekayaan duniawi, untuk kemudian berhijrah dalam jalan tasawuf. Tujuan awalnya ialah Masjidil Haram. Usai melakukan haji, Syekh Ibrahim kembali mengembara. Menurut narasi Hilyatul Auliya, sang salik sempat bertandang ke Irak, tetapi tidak menemukan pekerjaan yang tepat untuk sekadar menyambung hidup. Lantas, ia terus berjalan ke Syam. Di sanalah, dirinya memperoleh kerja sebagai buruh kebun. Penghasilannya untuk mencukupi makan harian saja. Sebab, yang menjadi fokusnya bukanlah pekerjaan, melainkan belajar ilmu dan hikmah dari alim ulama. Jauh dari gemerlapnya dunia kian membuatnya bahagia. Suatu ketika, seseorang bertanya kepada Syekh Ibrahim, apa alasannya sehingga meninggalkan takhta dan kekayaan di Khurasan. Ia menjawab dengan penuh keyakinan, “Aku tidak menemukan kebahagiaan hidup kecuali di Syam. Di negeri inilah aku berkelana dengan membawa agamaku. Aku pun naik-turun puncak bukit bekerja mencari nafkah –Red. Orang-orang mungkin mengira diriku aneh atau gila.” Aku tidak menemukan kebahagiaan hidup kecuali di Syam. Di negeri inilah aku berkelana dengan membawa agamaku. Ya, dalam setiap rihlahnya, ia pantang mengemis, apalagi meminta-minta kepada orang. Untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum, ia selalu mencari nafkah dari hasil jerih payahnya sendiri. Selain profesi tukang kebun, Syekh Ibrahim juga pernah menjadi buruh petik saat musim panen dan penimba air sumur. Beberapa daerah Syam pernah disinggahinya. Misalnya, pinggiran Sungai Sayhan kini Turki selatan atau Gaza, Palestina. Menurut al-Isfahani, ahli tasawuf itu diduga pernah mengikuti beberapa operasi militer Islam dalam membendung Bizantium. Kisah-kisah jihadnya beberapa kali disebutkan dalam pelbagai anekdot tentangnya. Sufi tersebut juga dikisahkan, mengalami sakit perut sebelum meninggal di medan pertempuran. Sebagian riwayat menyebut, Ibrahim bin Adham tidak menikah. Bagaimanapun, cerita yang dimuat dalam Tadzkiratul Auliya menyiratkan yang sebaliknya. Sang syekh dikisahkan pernah bertemu dengan anaknya yang bertahun-tahun ditinggalkannya. Hingga kini, Ibrahim bin Adham terus menjadi inspirasi kebijaksanaan. Nama besarnya tersiar luas bahkan hingga ke Nusantara. Begitu pula dengan petuah-petuahnya, sebagaimana dicatat para salik dari generasi ke generasi. Nama besarnya tersiar luas bahkan hingga ke Nusantara. Begitu pula dengan petuah-petuahnya, sebagaimana dicatat para salik dari generasi ke generasi. Keikhlasannya yang istiqamah hanya untuk dekat dengan Allah SWT. Dikisahkan, pada suatu waktu dalam perjalanannya menuju Makkah Syekh Ibrahim melalui padang gurun. Tiga hari telah lewat, sementara ia tidak menemukan apa pun yang bisa dimakan. Tiba-tiba, Iblis mendatanginya dan berbisik, “Untuk apa kamu dahulu meninggalkan istana dan kerajaanmu? Apakah kelaparan ini saja yang akhirnya kamu peroleh? Bukankah bisa berziarah ke Tanah Suci dengan penuh kenyamanan, didampingi para pengiring dan pengawal, tanpa harus bersusah-payah?” Mendengar perkataan Iblis, Ibrahim mengangkat kedua tangannya sembari menangis, “Ya Allah,” katanya berdoa, “mengapa Engkau menunjuk musuh-Mu untuk menemui sahabat-Mu? Kumohon, datanglah untuk menolongku. Aku tidak akan mampu menyeberangi padang pasir ini tanpa pertolongan-Mu.” Lalu, sebentuk suara menghampirinya, “Ibrahim, keluarkan apa-apa yang ada dalam kantungmu agar Kami mendatangkan apa-apa yang dimiliki Zat Yang Maha Tersembunyi.” Ibrahim kemudian memasukkan tangannya ke dalam saku. Ternyata, ada beberapa koin perak yang lama dilupakannya. Ia langsung membuang benda-benda itu. Seketika, Iblis melarikan diri. Allah kemudian mencukupkan Ibrahim dengan rezeki dari-Nya.
21wx6.
  • lf75x89bo3.pages.dev/170
  • lf75x89bo3.pages.dev/101
  • lf75x89bo3.pages.dev/324
  • lf75x89bo3.pages.dev/218
  • lf75x89bo3.pages.dev/228
  • lf75x89bo3.pages.dev/208
  • lf75x89bo3.pages.dev/36
  • lf75x89bo3.pages.dev/18
  • lf75x89bo3.pages.dev/128
  • ibrahim bin adham adalah tokoh tasawuf yang berasal dari